Ibarat
besok pagi akan kiamat, kita tidak boleh berhenti berbuat baik. Menebar
kebaikan bisa menghasilkan kebaikan pula, kalau bukan diri sendiri yang
menikmati, kan masih ada anak atau cucu kita?.
Konon ada seorang
nenek. Umurnya cukup udzur. Orang sering mengidentikkan dengan masa “penantian”
garis finish kehidupan. Lazimnya pada usia seperti itu seseorang sudah tidak
dituntut bekerja. Sanak keluarganya memaklumi jika banyak istirahat , menikmati
sisa-sisa umur. Tetapi tidak demikian dengan nenek satu ini. Dia tetap bekerja
meski tenaganya terbatas.
Si nenek
menanam biji kurma di kebunnya. Orang yang melihatnya bertanya, mengapa menanam
kurma, kan tidak mungkin bisa menikmati buahnya sebab usianya terlalu tua untuk
menunggu pohon itu berbuah. Si nenek menjawab, “Bagi saya yang penting menanam.
Kalau saya tidak bisa menikmatinya karena keburu dipanggil oleh Allah, kan
masih ada anak cucu saya yang akan menikmatinya.”
Nenek ini bukannya tidak sadar
kalau usianya begitu udzur. Bagi dia yang penting terus berkarya. Dia menatap dan mempersiapkan hari esok.
Berkarya bukan semata untuk hari ini, tetapi diupayakan untuk menanam kebaikan
untuk hari esok.
Begitulah langkah berkelanjutan.
Karya, hendaknya dilakukan secara terus menerus agar kebaikan yang ditimbulkan
dapat dinikmati orang lain sepanjang waktu. Dalam hal berkarya, Nabi Saw
berpesan jangan menganggap enteng sorga meski hanya dengan cara beramal sebutir
kurma. Ini artinya, sekecil apa pun pekerjaan atau amal, asal dilakukan secara
ikhlas nilainya bisa menjadi besar.
Selain itu Nabi Muhammad
berpesan, “Allah cinta kepada amal kecil yang dilakukan secara terus menerus.”
Perbuatan kecil yang dilakukan kontinyu dicintai Allah ketimbang amal besar
yang dilaksanakan sesaat, apalagi kalau dilakukan ketika ada maunya.
Setiap orang perlu melakukan
koreksi diri, apakah termasuk orang yang memiliki kebiasaan melakukan pekerjaan
“besar” tetapi hanya sekali atau melakukan pekerjaan kecil secara terus
menerus? Syukur kalau melakukan pekerjaan besar yang terus menerus.
Semua orang bisa bersikap
kontinyu (istiqomah) dalam kebaikan
asal ada kemauan dan kerja keras. Tetapi, acap kali ada belenggu yang
menyebabkan enggan melakukan kebaikan. Di antara belenggu itu menurut Ary Ginanjar Agustian antara
lain: prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan sudut pandang.
Islam,
mengajarkan agar kita selalu berbaik prasangka (husnudzon) kepada orang lain, jangan berprasangka buruk (su’udzon). Sikap berburuk sangka kepada
orang lain hanya buang-buang energi dan tidak produktif. Seorang guru marah-marah kepada siswanya yang
kelihatan lemas di kelas. Vonis yang ditujukan kepada siswa tadi, sikapnya yang
lemas dianggap tidak menghormati guru. Siswa tadi dimarahi habis-habisan di
dalam kelas. Tentu saja temannya sekelas “terpengaruh” oleh sikap gurunya.
Murid tadi
tidak memberi reaksi apa-apa, karena memang tidak ditanya dan tidak diberi
kesempatan membela diri. Dia semakin terpojok di mata teman dan gurunya. Cuma
saja, di benaknya berkata, “Andai pak Guru tahu kalau saya tadi tidak sarapan,
dan berangkat ke sekolah dengan perasaan sedih karena ibu saya sakit, dia tidak
akan memarahi saya. Saya semalam tidak bisa tidur karena harus menunggu ibu,
sedang ayah sudah lama meninggal. Sebenarnya saya mengantuk, tetapi karena
ingin mendapatkan ilmu, saya memaksa diri masuk sekolah.”
Hal seperti
ini bisa saja terjadi di mana pun, di sekolah, di kantor, di perusahaan, di
warung, di terminal bus, di stasiun, dan sebagainya. Tetapi sudut pandang kita
sering “terbelenggu” dalam melihat orang lain sehingga mengedepankan buruk
sangka. Sikap ini menimbulkan kesimpulan yang salah. Berbaik sangka kepada
orang lain bisa mendatangkan ketenangan jiwa baik bagi dirinya maupun orang
lain. Kewibawaan, kesuksesan, dan kelancaran rezeki seseorang acap kali datang
disebabkan oleh sikap berbaik sangka kepada orang lain.
Selain soal
prasangka, belenggu yang sering menjebak kita adalah, prinsip-prinsip hidup.
Seseorang yang memiliki prinsip hidup, tidak mudah goyah dalam memperjuangkan
kebenaran dan idealisme. Berbeda dengan orang yang hidupnya “acak-acakan”,
tidak mempunyai pedoman dan target, dia mudah hanyut terhadap perjalanan waktu
sehingga usianya hanya habis untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Agar bisa
kontinyu dalam kebaikan, perbanyak teman, jalin pergaulan yang baik. Dari sana
akan mengalir pengalaman hidup yang baik. Dengan modal pengalaman, seseorang
tidak canggung melewati hidup. Dia tegar, tegas, dan mampu meretas masa depan
penuh keyakinan diri. Orang seperti ini biasanya ibarat magnit, memiliki daya
panggil besar bagi lingkungan dan orang lain sehingga memiliki pengikut setia
atau setidaknya teman yang baik.
Nabi
mengingatkan kita agar dalam mencari teman hendaknya mencari yang baik, karena
pantulan pribadinya menyebabkan terjadinya interaksi positip. Begitu juga dalam
memilih tempat untuk membangun rumah, hendaknya mencari lingkungan yang baik
agar kebaikan yang ada dapat berkembang, atau setidaknya dapat dipertahankan.
Ada baiknya
mengingat pesan Ali bin Abi Tholib kepada putranya, “Janganlah kamu bersahabat
dengan orang bodoh karena ia akan memanfaatkan dirimu dan itu membahayakanmu.
Dan janganlah kamu bersahabat dengan orang pendusta.”
Yang tidak
kalah pentingnya, agar kebaikan yang kita miliki selalu berkelanjutan seseorang
hendaknya memiliki sudut pandang yang benar. Ada orang yang memiliki prespektif
yang berbeda soal kebaikan dan keburukan. Seseorang hanya ingin mereguk
kesenangan sesaat dan dengan sudut pandang bahwa kehidupan ini hanya ada di
dunia. Mereka memanfaatkan kesempatan yang dinilainya sempit untuk melakukan
setiap bisikan nafsunya sehingga
terpenuhi untuk hal-hal yang mudhorot.
Berbeda dengan orang yang sudut pandangnya sempurna, melihat kehidupan
di dunia ini merupakan “jembatan” menuju akhirat, maka mereka lebih hati-hati.
Setiap
perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan sehingga tidak
seenaknya berbuat. Pandangan seperti
ini, menyebabkan seseorang selalu berupaya bertindak positip, dan dilakukannya
secara kontinyu. Mereka sadar dengan
kandungan doa sapu jagat yang meminta kepada Tuhan kebahagiaan di dunia, dan
kebahagiaan di akhirat. Konsekuensinya, berupaya menyelaraskan perbuatannya
dengan idealisme yang dipegang teguh dalam hidupnya. (*)
No comments:
Post a Comment