Thursday, November 6, 2014

Kontinyu dalam Kebaikan



Ibarat besok pagi akan kiamat, kita tidak boleh berhenti berbuat baik. Menebar kebaikan bisa menghasilkan kebaikan pula, kalau bukan diri sendiri yang menikmati, kan masih ada anak atau cucu kita?.

Konon ada seorang nenek. Umurnya cukup udzur. Orang sering mengidentikkan dengan masa “penantian” garis finish kehidupan. Lazimnya pada usia seperti itu seseorang sudah tidak dituntut bekerja. Sanak keluarganya memaklumi jika banyak istirahat , menikmati sisa-sisa umur. Tetapi tidak demikian dengan nenek satu ini. Dia tetap bekerja meski tenaganya terbatas.
Si nenek menanam biji kurma di kebunnya. Orang yang melihatnya bertanya, mengapa menanam kurma, kan tidak mungkin bisa menikmati buahnya sebab usianya terlalu tua untuk menunggu pohon itu berbuah. Si nenek menjawab, “Bagi saya yang penting menanam. Kalau saya tidak bisa menikmatinya karena keburu dipanggil oleh Allah, kan masih ada anak cucu saya yang akan menikmatinya.”
Nenek ini bukannya tidak sadar kalau usianya begitu udzur. Bagi dia yang penting terus berkarya.  Dia menatap dan mempersiapkan hari esok. Berkarya bukan semata untuk hari ini, tetapi diupayakan untuk menanam kebaikan untuk hari esok.
Begitulah langkah berkelanjutan. Karya, hendaknya dilakukan secara terus menerus agar kebaikan yang ditimbulkan dapat dinikmati orang lain sepanjang waktu. Dalam hal berkarya, Nabi Saw berpesan jangan menganggap enteng sorga meski hanya dengan cara beramal sebutir kurma. Ini artinya, sekecil apa pun pekerjaan atau amal, asal dilakukan secara ikhlas nilainya bisa menjadi besar.
Selain itu Nabi Muhammad berpesan, “Allah cinta kepada amal kecil yang dilakukan secara terus menerus.” Perbuatan kecil yang dilakukan kontinyu dicintai Allah ketimbang amal besar yang dilaksanakan sesaat, apalagi kalau dilakukan ketika ada maunya.
Setiap orang perlu melakukan koreksi diri, apakah termasuk orang yang memiliki kebiasaan melakukan pekerjaan “besar” tetapi hanya sekali atau melakukan pekerjaan kecil secara terus menerus? Syukur kalau melakukan pekerjaan besar yang terus menerus.
Semua orang bisa bersikap kontinyu (istiqomah) dalam kebaikan asal ada kemauan dan kerja keras. Tetapi, acap kali ada belenggu yang menyebabkan enggan melakukan kebaikan. Di antara belenggu  itu menurut Ary Ginanjar Agustian antara lain: prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan  sudut pandang.
Islam, mengajarkan agar kita selalu berbaik prasangka (husnudzon) kepada orang lain, jangan berprasangka buruk (su’udzon). Sikap berburuk sangka kepada orang lain hanya buang-buang energi dan tidak produktif.  Seorang guru marah-marah kepada siswanya yang kelihatan lemas di kelas. Vonis yang ditujukan kepada siswa tadi, sikapnya yang lemas dianggap tidak menghormati guru. Siswa tadi dimarahi habis-habisan di dalam kelas. Tentu saja temannya sekelas “terpengaruh” oleh sikap gurunya.
Murid tadi tidak memberi reaksi apa-apa, karena memang tidak ditanya dan tidak diberi kesempatan membela diri. Dia semakin terpojok di mata teman dan gurunya. Cuma saja, di benaknya berkata, “Andai pak Guru tahu kalau saya tadi tidak sarapan, dan berangkat ke sekolah dengan perasaan sedih karena ibu saya sakit, dia tidak akan memarahi saya. Saya semalam tidak bisa tidur karena harus menunggu ibu, sedang ayah sudah lama meninggal. Sebenarnya saya mengantuk, tetapi karena ingin mendapatkan ilmu, saya memaksa diri masuk sekolah.”
Hal seperti ini bisa saja terjadi di mana pun, di sekolah, di kantor, di perusahaan, di warung, di terminal bus, di stasiun, dan sebagainya. Tetapi sudut pandang kita sering “terbelenggu” dalam melihat orang lain sehingga mengedepankan buruk sangka. Sikap ini menimbulkan kesimpulan yang salah. Berbaik sangka kepada orang lain bisa mendatangkan ketenangan jiwa baik bagi dirinya maupun orang lain. Kewibawaan, kesuksesan, dan kelancaran rezeki seseorang acap kali datang disebabkan oleh sikap berbaik sangka kepada orang lain.
Selain soal prasangka, belenggu yang sering menjebak kita adalah, prinsip-prinsip hidup. Seseorang yang memiliki prinsip hidup, tidak mudah goyah dalam memperjuangkan kebenaran dan idealisme. Berbeda dengan orang yang hidupnya “acak-acakan”, tidak mempunyai pedoman dan target, dia mudah hanyut terhadap perjalanan waktu sehingga usianya hanya habis untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Agar bisa kontinyu dalam kebaikan, perbanyak teman, jalin pergaulan yang baik. Dari sana akan mengalir pengalaman hidup yang baik. Dengan modal pengalaman, seseorang tidak canggung melewati hidup. Dia tegar, tegas, dan mampu meretas masa depan penuh keyakinan diri. Orang seperti ini biasanya ibarat magnit, memiliki daya panggil besar bagi lingkungan dan orang lain sehingga memiliki pengikut setia atau setidaknya teman yang baik.
Nabi mengingatkan kita agar dalam mencari teman hendaknya mencari yang baik, karena pantulan pribadinya menyebabkan terjadinya interaksi positip. Begitu juga dalam memilih tempat untuk membangun rumah, hendaknya mencari lingkungan yang baik agar kebaikan yang ada dapat berkembang, atau setidaknya dapat dipertahankan.
Ada baiknya mengingat pesan Ali bin Abi Tholib kepada putranya, “Janganlah kamu bersahabat dengan orang bodoh karena ia akan memanfaatkan dirimu dan itu membahayakanmu. Dan janganlah kamu bersahabat dengan orang pendusta.”
Yang tidak kalah pentingnya, agar kebaikan yang kita miliki selalu berkelanjutan seseorang hendaknya memiliki sudut pandang yang benar. Ada orang yang memiliki prespektif yang berbeda soal kebaikan dan keburukan. Seseorang hanya ingin mereguk kesenangan sesaat dan dengan sudut pandang bahwa kehidupan ini hanya ada di dunia. Mereka memanfaatkan kesempatan yang dinilainya sempit untuk melakukan setiap bisikan nafsunya sehingga  terpenuhi untuk hal-hal yang mudhorot.  Berbeda dengan orang yang sudut pandangnya sempurna, melihat kehidupan di dunia ini merupakan “jembatan” menuju akhirat, maka mereka lebih hati-hati.
Setiap perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan sehingga tidak seenaknya berbuat.  Pandangan seperti ini, menyebabkan seseorang selalu berupaya bertindak positip, dan dilakukannya secara kontinyu.  Mereka sadar dengan kandungan doa sapu jagat yang meminta kepada Tuhan kebahagiaan di dunia, dan kebahagiaan di akhirat. Konsekuensinya, berupaya menyelaraskan perbuatannya dengan idealisme yang dipegang teguh dalam hidupnya. (*)



No comments:

Post a Comment