Seorang tokoh kaget ketika ada laporan perilaku anaknya. “Anak Bapak
tadi malam main judi,” kata si pelapor. “Astagfirullah. Kok berani-beraninya
dia berjudi?” ujarnya merespon laporan yang disampaikan orang tadi.
“Iya Pak, saya tahu sendiri. Tapi, dia tadi malam beruntung. Dia
menang ratusan juta,” jelasnya. “Ya…syukurlah kalau begitu, semoga saya nanti
kebagian,” jawab tokoh tadi dengan ekspresi senang.
Banyak contoh lain yang menunjukkan pilihan “membingungkan” karena
saling bertentangan. Dalam proses pemilihan pemimpin –kepala desa, bupati,
gubernur, sampai presiden, DPRD dan DPR, DPD dll- pilihan seperti itu pasti bermunculan di mana-mana.
Yaitu, antara bermain bersih tapi kalah, dengan bermain kotor agar
menang. Yang dikatakan “bersih dan kotor”
di sini ukurannya adalah uang. Nanti akan banyak calon menebar uang,
sehingga masyarakat menikmatinya.
Padahal, uang demikian itu tak jelas. Itu kan sama halnya dengan membeli suara rakyat
yang pada akhirnya juga membeli jabatan. Budaya seperti itu menjadi ciri khas
penduduk di negeri kita.
Penulis pernah berdialog dengan calon bupati. Dia mengungkapkan rasa
galaunya. “Apa bisa maju tanpa harus bermain uang?” tanyanya. “Ah, bisa asal
masyarakat mau,” jawab penulis. Kuncinya masyarakat?. Ya nggak juga, kalau
calonnya tidak main uang hal yang demikian tidak akan terjadi.
Seorang calon bupati siap-siap modal puluhan miliar rupiah. Lha, kalau
sampai puluhan miliar, apa bisa, gaji satu periode menjabat sebagai bupati,
uangnya kembali. Sebab, gaji resmi bupati –di kota kecil-- Rp 6-8 juta. Dalam satu tahun,
Rp 72-96 juta. Dalam lima
tahun –satu periode, gaji resmi Rp 370 juta sampai Rp 480 juta. Jadi, tidak
sampai setengah miliar. Muncul pertanyaan kalau begitu dari mana modalnya bisa
kembali?
Di sini
perlunya dua sikap, agar kita, seperti
disebutkan Nabi Muhammad SAW punya
“tiket” untuk bisa masuk surga. Yaitu jujur dan amanah. Allah telah
memberi contoh tentang kejujuran. Coba lihat angin. Angin yang berhembus selalu
membawa “informasi” yang jujur, tanpa diubah sedikit pun. Ketika melewati orang
membakar sate, aroma yang dijumpainya disampaikan kepada siapa saja tanpa
sedikit pun diubah sehingga orang di sekitarnya juga membau sate.
Tak pernah
ada, ketika angin melewati orang membakar sate, sesampainya di hidung orang di
sekitarnya berubah menjadi bau kotoran
binatang. Nah, sikap jujur angin hendaknya dijadikan sebagai guru bagi manusia
yang dalam praktik keseharian sering tidak jujur, termasuk main curang.
Hal lain, yang
perlu ditiru dari ciptaan Allah adalah sikap amanah. Allah memberi contoh
kepada kita tentang sikap ini, seperti yang “dilakukan” tanah. Tanah, selalu
amanah. Kalau seseorang “titip” tanaman pasti tumbuhnya seperti yang
dititipkan, tidak pernah diubah-ubah.
Seseorang yang
menanam pohon kelapa, meski tanah “diancam” akan ditembak jika tidak mengubah
kelapa agar berbuah semangka, tanah tersebut akan tetap amanah. Dia akan
menumbuhkan pohon kelapa dan berbuah kelapa. Berbeda dengan manusia, kalau
dititipi uang, sering kali nyampainya tidak cocok dengan jumlah awalnya.
Dari dua
contoh ini saja, kita bisa mengukur diri kita. Manusia sering kalah dengan
angin, dan tanah.Jujur dan amanah harus kita tegakkan pada diri kita jika kita
ingin mempunyai “tiket” masuk surga Allah.

No comments:
Post a Comment