Thursday, October 23, 2014

Sikap Jujur dan Amanah



Seorang tokoh kaget ketika ada laporan perilaku anaknya. “Anak Bapak tadi malam main judi,” kata si pelapor. “Astagfirullah. Kok berani-beraninya dia berjudi?” ujarnya merespon laporan yang disampaikan orang tadi.
“Iya Pak, saya tahu sendiri. Tapi, dia tadi malam beruntung. Dia menang ratusan juta,” jelasnya. “Ya…syukurlah kalau begitu, semoga saya nanti kebagian,” jawab tokoh tadi dengan ekspresi senang.
Banyak contoh lain yang menunjukkan pilihan “membingungkan” karena saling bertentangan. Dalam proses pemilihan pemimpin –kepala desa, bupati, gubernur, sampai presiden, DPRD dan DPR, DPD dll-   pilihan seperti itu pasti bermunculan di mana-mana.
Yaitu, antara bermain bersih tapi kalah, dengan bermain kotor agar menang. Yang dikatakan “bersih dan kotor”  di sini ukurannya adalah uang. Nanti akan banyak calon menebar uang, sehingga masyarakat menikmatinya.
Padahal, uang demikian itu tak jelas. Itu kan sama halnya dengan membeli suara rakyat yang pada akhirnya juga membeli jabatan. Budaya seperti itu menjadi ciri khas penduduk di negeri kita.
Penulis pernah berdialog dengan calon bupati. Dia mengungkapkan rasa galaunya. “Apa bisa maju tanpa harus bermain uang?” tanyanya. “Ah, bisa asal masyarakat mau,” jawab penulis. Kuncinya masyarakat?. Ya nggak juga, kalau calonnya tidak main uang hal yang demikian tidak akan terjadi.
Seorang calon bupati siap-siap modal puluhan miliar rupiah. Lha, kalau sampai puluhan miliar, apa bisa, gaji satu periode menjabat sebagai bupati, uangnya kembali. Sebab, gaji resmi bupati –di kota kecil-- Rp 6-8 juta. Dalam satu tahun, Rp 72-96 juta. Dalam lima tahun –satu periode, gaji resmi Rp 370 juta sampai Rp 480 juta. Jadi, tidak sampai setengah miliar. Muncul pertanyaan kalau begitu dari mana modalnya bisa kembali?
Di sini perlunya dua sikap, agar kita,  seperti disebutkan Nabi Muhammad SAW punya  “tiket” untuk bisa masuk surga. Yaitu jujur dan amanah. Allah telah memberi contoh tentang kejujuran. Coba lihat angin. Angin yang berhembus selalu membawa “informasi” yang jujur, tanpa diubah sedikit pun. Ketika melewati orang membakar sate, aroma yang dijumpainya disampaikan kepada siapa saja tanpa sedikit pun diubah sehingga orang di sekitarnya juga membau sate.
Tak pernah ada, ketika angin melewati orang membakar sate, sesampainya di hidung orang di sekitarnya berubah menjadi bau  kotoran binatang. Nah, sikap jujur angin hendaknya dijadikan sebagai guru bagi manusia yang dalam praktik keseharian sering tidak jujur, termasuk main curang.
Hal lain, yang perlu ditiru dari ciptaan Allah adalah sikap amanah. Allah memberi contoh kepada kita tentang sikap ini, seperti yang “dilakukan” tanah. Tanah, selalu amanah. Kalau seseorang “titip” tanaman pasti tumbuhnya seperti yang dititipkan, tidak pernah diubah-ubah.
Seseorang yang menanam pohon kelapa, meski tanah “diancam” akan ditembak jika tidak mengubah kelapa agar berbuah semangka, tanah tersebut akan tetap amanah. Dia akan menumbuhkan pohon kelapa dan berbuah kelapa. Berbeda dengan manusia, kalau dititipi uang, sering kali nyampainya tidak cocok dengan jumlah awalnya.
Dari dua contoh ini saja, kita bisa mengukur diri kita. Manusia sering kalah dengan angin, dan tanah.Jujur dan amanah harus kita tegakkan pada diri kita jika kita ingin mempunyai “tiket” masuk surga Allah.

No comments:

Post a Comment