Sifat hipokrit alias munafik
seperti itu merupakan indikasi kuat bahwa jiwanya masih labil. Terhadap dirinya
sendiri belum jujur apalagi terhadap orang lain. Kita bisa membandingkan para
khalifah (pemimpin) pasca Rasulullah yang selalu selaras antara kata dengan
perbuatan. Sebut misal Abu Bakar Siddiq Ra.
Konon,
Abu Bakar Siddiq, sahabat Nabi Saw setiap shalat, gamisnya basah karena air
matanya mengalir deras. Abu Bakar sadar dirinya tengah menghadap Zat Yang Maha
Suci, Sang Kholiq yang telah menciptakan semua makhluk.
Bagaimana
shalat kita? Khusyuk-kah? Atau saat shalat justru berpikir selain Allah? Yang
tahu hal itu adalah diri kita sendiri. Kalau kita dapat melaksanakannya dengan
khusyuk, termasuk orang yang beruntung.
Di
masjidil Haram, banyak orang shalat sambil menangis. Jiwanya “menyatu” dengan Sang Kholiq. Singkat kata, mereka merasa
haru, bangga, dan syukur. Haru karena di sana bisa melihat kebesaran sejarah
para nabi di masa silam, bangga karena jiwanya menuju dekapan Ilahi, dan
bersyukur karena Allah “mengundang” dirinya ke baitullah.
Orang
shalat hendaknya disertai hudurul qolb
(hadirnya hati), tafahum (paham arti
bacaan), ta’dzim (mengagungkan
Allah), khouf (cemas), raja’ (berharap) dll. Shalat di mana
saja, hendaknya seperti itu. Tetapi kenyataanya, orang yang shalat di dekat
Ka’bah memiliki kedalaman penghayatan sehingga merasa bahwa shalat dapat
menjadi “jembatan”, menyambung antara hamba dengan Allah. Allah berpesan,
“Jadikan shalat dan sabar sebagai penolongmu.”
Sementara
shalat di tempat lain, sering kali terasa hambar, bahkan sulit mencapai
khusyuk. Terbukti, banyak orang shalat lupa jumlah rakaat, lupa bacaan, dan
pikirannya berada di luar shalat. Yang demikian ini, kata Nabi Yahya, ibarat
orang yang hendak bertamu kepada raja, setelah raja menemuinya, Sang tamu
tolah-toleh, tidak menghadap kepada raja. Jangan salahkan kalau raja masuk
kembali ke ruangannya. Begitu orang shalat, kalau hatinya tidak menghadap
kepada Allah, jangan salahkan Allah kalau doa kita tidak dikabulkan.
Saat
shalat seseorang berupaya sungguh-sungguh agar bisa khusyuk dan tawadhuk.
Setiap bacaan shalat yang 80% berisi doa itu, disampaikannya dengan jiwa mantap
hanya tertuju kepada Allah Swt. Maka, Abu Bakar Siddiq ra, setiap kali shalat
gamisnya basah, karena menangis. Umar Ibnul Khotob ra yang gagah berani dan
ditakuti lawan, begitu mengucap takbiratul ikhrom, badannya gemetar dan pucat
pasi. Mengapa kedua sahabat nabi ini begitu “luar biasa” penjiwaan shalatnya?
Karena sadar sedang bertemu Allah.
Kebiasaan
seperti ini juga dimiliki jutaan jamaah haji. Hampir semua jamaah haji pernah
merasakan bagaimana “lezatnya” shalat disertai derai air mata. Mereka menikmati
shalatnya sepenuh jiwa. Betapa tidak, para jamaah haji tengah melaksanakan
shalat di masjid yang dijanjikan mendapatkan kebaikan 100 ribu kali dibanding
masjid lain. Mereka tengah berada di tempat yang mustajabah atas segala doanya.
Tidak
hanya itu, mereka tahu bahwa tempat yang sedang didatangi merupakan tempat
bersejarah bagi perjuangan para rasul. Sebut saja bagi Nabi Ibrahim, Nabi
Ismail, dan Nabi Muhammad Saw. Melihat Ka’bah bukan sekedar terkesan pada
bangunan berbentuk kubus yang berwarna hitam. Tetapi lebih jauh dari itu,
Ka’bah merupakan tempat yang
keberadaan-Nya ada “campur tangan” Allah. Wajar jika Ka’bah memantulkan energi
rohani yang sangat kuat sehingga orang yang berada di dalamnya merasa aman dan
damai.
Shalat
terasa enteng. Di luar shalat wajib, ada kemauan kuat untuk melaksanakan shalat
sunnah. Syetan seolah dibelenggu sehingga orang beribadah tidak ada perasaan
berat, bahkan merasa puas hati. Semakin banyak mengerjakan shalat sunnah,
semakin puas jiwanya. Dan, setiap orang akan hilang perasaan hebatnya karena
melihat orang-orang di sekitarnya jauh lebih alim, lebih kuat ibadahnya. “ Di
atas langit ada langit.”
Di
bagian lain, tempat shalat bukan tempat biasa. Ada keistimewaan sehingga shalat dan doa
seseorang akan didengar oleh Allah. Rasul Saw memberi informasi bahwa do’a hamba yang dipanjatkan
di sejumlah tempat mustajabah, sepert di Rukun Yamani, Multazam, Hijr Ismail, dan
di belakang Maqom Ibrahim, dikabulkan Allah. Semua orang yang sedang berada di
sekitar Ka’bah, menggunakan kesempatan tersebut sebaik-baiknya untuk ber doa
yang terbaik.
Selain
itu, mereka juga menyampaikan pertaubatan kepada Allah atas dosa yang pernah
dilakukan sepanjang hayat. Apalagi ada janji yang mereka ketahui, bahwa bagi
jamaah haji yang sempat mencium Rukun Yamani, misalnya akan diampuni
dosa-dosanya. Begitu juga jika kita berhasil mencium Hajar Aswad, dihapus dosa
yang terdahulu.
Hampir
semua mata yang pernah “diajak” ke pelataran Ka’bah pernah menumpahkan air
matanya. Air mata haru, bangga, syukur, dan pertaubatan. Beda dengan air mata
yang netes di rumah, air mata yang keluar di Masjidil Haram benar-benar tumpah
tanpa perasaan malu kepada orang di sekitarnya karena orang lain juga mengalami
hal yang sama.
Andai
sampai kering air mata yang dikeluarkan, asal dosa diampuni dan doanya
dikabulkan mereka rela. Kondisi kejiwaan seperti ini kalau dimiliki setiap
pribadi sangat berpengaruh pada perilakunya. Andai semua jiwa pemimpin menyatu
dengan Tuhan, kehidupan ini akan terasa damai dan aman.... Menuju ke sana,
awali memimpin diri sendiri. (*)
No comments:
Post a Comment