Thursday, November 6, 2014

Menyatu dengan Allah



Sifat hipokrit alias munafik seperti itu merupakan indikasi kuat bahwa jiwanya masih labil. Terhadap dirinya sendiri belum jujur apalagi terhadap orang lain. Kita bisa membandingkan para khalifah (pemimpin) pasca Rasulullah yang selalu selaras antara kata dengan perbuatan. Sebut misal Abu Bakar Siddiq Ra.
Konon, Abu Bakar Siddiq, sahabat Nabi Saw setiap shalat, gamisnya basah karena air matanya mengalir deras. Abu Bakar sadar dirinya tengah menghadap Zat Yang Maha Suci, Sang Kholiq yang telah menciptakan semua makhluk.
Bagaimana shalat kita? Khusyuk-kah? Atau saat shalat justru berpikir selain Allah? Yang tahu hal itu adalah diri kita sendiri. Kalau kita dapat melaksanakannya dengan khusyuk, termasuk orang yang beruntung.
Di masjidil Haram, banyak orang shalat sambil menangis.  Jiwanya “menyatu” dengan  Sang Kholiq. Singkat kata, mereka merasa haru, bangga, dan syukur. Haru karena di sana bisa melihat kebesaran sejarah para nabi di masa silam, bangga karena jiwanya menuju dekapan Ilahi, dan bersyukur karena Allah “mengundang” dirinya ke baitullah.
Orang shalat hendaknya disertai hudurul qolb (hadirnya hati), tafahum (paham arti bacaan), ta’dzim (mengagungkan Allah), khouf (cemas), raja’ (berharap) dll. Shalat di mana saja, hendaknya seperti itu. Tetapi kenyataanya, orang yang shalat di dekat Ka’bah memiliki kedalaman penghayatan sehingga merasa bahwa shalat dapat menjadi “jembatan”, menyambung antara hamba dengan Allah. Allah berpesan, “Jadikan shalat dan sabar sebagai penolongmu.” 
Sementara shalat di tempat lain, sering kali terasa hambar, bahkan sulit mencapai khusyuk. Terbukti, banyak orang shalat lupa jumlah rakaat, lupa bacaan, dan pikirannya berada di luar shalat. Yang demikian ini, kata Nabi Yahya, ibarat orang yang hendak bertamu kepada raja, setelah raja menemuinya, Sang tamu tolah-toleh, tidak menghadap kepada raja. Jangan salahkan kalau raja masuk kembali ke ruangannya. Begitu orang shalat, kalau hatinya tidak menghadap kepada Allah, jangan salahkan Allah kalau doa kita tidak dikabulkan.
Saat shalat seseorang berupaya sungguh-sungguh agar bisa khusyuk dan tawadhuk. Setiap bacaan shalat yang 80% berisi doa itu, disampaikannya dengan jiwa mantap hanya tertuju kepada Allah Swt. Maka, Abu Bakar Siddiq ra, setiap kali shalat gamisnya basah, karena menangis. Umar Ibnul Khotob ra yang gagah berani dan ditakuti lawan, begitu mengucap takbiratul ikhrom, badannya gemetar dan pucat pasi. Mengapa kedua sahabat nabi ini begitu “luar biasa” penjiwaan shalatnya? Karena sadar sedang bertemu Allah.
Kebiasaan seperti ini juga dimiliki jutaan jamaah haji. Hampir semua jamaah haji pernah merasakan bagaimana “lezatnya” shalat disertai derai air mata. Mereka menikmati shalatnya sepenuh jiwa. Betapa tidak, para jamaah haji tengah melaksanakan shalat di masjid yang dijanjikan mendapatkan kebaikan 100 ribu kali dibanding masjid lain. Mereka tengah berada di tempat yang  mustajabah atas segala doanya.
Tidak hanya itu, mereka tahu bahwa tempat yang sedang didatangi merupakan tempat bersejarah bagi perjuangan para rasul. Sebut saja bagi Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Nabi Muhammad Saw. Melihat Ka’bah bukan sekedar terkesan pada bangunan berbentuk kubus yang berwarna hitam. Tetapi lebih jauh dari itu, Ka’bah merupakan tempat  yang keberadaan-Nya ada “campur tangan” Allah. Wajar jika Ka’bah memantulkan energi rohani yang sangat kuat sehingga orang yang berada di dalamnya merasa aman dan damai.
Shalat terasa enteng. Di luar shalat wajib, ada kemauan kuat untuk melaksanakan shalat sunnah. Syetan seolah dibelenggu sehingga orang beribadah tidak ada perasaan berat, bahkan merasa puas hati. Semakin banyak mengerjakan shalat sunnah, semakin puas jiwanya. Dan, setiap orang akan hilang perasaan hebatnya karena melihat orang-orang di sekitarnya jauh lebih alim, lebih kuat ibadahnya. “ Di atas langit ada langit.”
Di bagian lain, tempat shalat bukan tempat biasa. Ada keistimewaan sehingga shalat dan doa seseorang akan didengar oleh Allah. Rasul Saw memberi  informasi bahwa do’a hamba yang dipanjatkan di sejumlah tempat mustajabah, sepert di Rukun Yamani, Multazam, Hijr Ismail, dan di belakang Maqom Ibrahim, dikabulkan Allah. Semua orang yang sedang berada di sekitar Ka’bah, menggunakan kesempatan tersebut sebaik-baiknya untuk ber doa yang terbaik. 
Selain itu, mereka juga menyampaikan pertaubatan kepada Allah atas dosa yang pernah dilakukan sepanjang hayat. Apalagi ada janji yang mereka ketahui, bahwa bagi jamaah haji yang sempat mencium Rukun Yamani, misalnya akan diampuni dosa-dosanya. Begitu juga jika kita berhasil mencium Hajar Aswad, dihapus dosa yang  terdahulu. 
Hampir semua mata yang pernah “diajak” ke pelataran Ka’bah pernah menumpahkan air matanya. Air mata haru, bangga, syukur, dan pertaubatan. Beda dengan air mata yang netes di rumah, air mata yang keluar di Masjidil Haram benar-benar tumpah tanpa perasaan malu kepada orang di sekitarnya karena orang lain juga mengalami hal yang sama.
Andai sampai kering air mata yang dikeluarkan, asal dosa diampuni dan doanya dikabulkan mereka rela. Kondisi kejiwaan seperti ini kalau dimiliki setiap pribadi sangat berpengaruh pada perilakunya. Andai semua jiwa pemimpin menyatu dengan Tuhan, kehidupan ini akan terasa damai dan aman.... Menuju ke sana, awali memimpin diri sendiri. (*)

No comments:

Post a Comment