Sebagai orang beriman kepada Allah, hendaknya berhati-hati menempnuh
kehidupan. Jika lengah dan salah arah bisa melenceng dari tujuan hidup,
tersesat.
Agar tidak terjadi kesalahan, sempatkan berhenti sejenak, melihat
kembali arah jalan yang benar. Arahkan biduk hidup ini lurus menuju Allah SWT.
Berhenti sejenak dalam ibadah haji dikenal dengan wukuf. Saat itu hamba
melakukan koreksi diri secara total, dan mengakui kesalahan yang pernah
diperbuat.
Perjalanan yang salah arah, melenceng, dan tersesat harus segera
diubah. Jika dibiarkan, termasuk golongan orang merugi (khoosirin).
Sebagai “penebusnya”, Allah mendorong kita agar berlomba menjadi orang yang
baik (fastabiqul khairaat).
Orang yang baik, memiliki beberapa tanda: Pertama, dekat kepada
Allah. Ini posisi yang sangat baik, harus dicari. “Jika hamba-Ku bertanya
tentang Aku, katakan Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa.
Beribadahlah dan berimanlah kepada-Ku agar kamu menjadi orang cerdas. Berdasar
ayat ini, kalau ingin dekat Allah, dua hal harus dilakukan, beribadah dan
beriman. Dengan demikian kita merasakan kedekatan dengan Allah. “Wa nahnu
aqrobu ilaihi min hablil wariid” (Dan, kami lebih dekat kepada manusia
daripada urat lehernya.)
Kedua, selalu
merasa “bersama” Allah. Dalam Al-Quran ditegaskan, posisi ini khusus dimiliki
orang yang sabar. “Wasta’iinu bishshobri washsholaah, innallaaha
ma’ashshoobiriin.” (Mintalah kepada-Ku dengan sabar dan shalat.
Sesungguhnya Allah “bersama” orang-orang
yang sabar.) Tanda orang sabar yaitu, ikhlash menjalankan perintah
Allah, mau menghindari larangan Allah dan tidak mengeluh jika mendapat ujian
dari Allah.
Ketiga, orang
yang baik, selalu “lari” kepada Allah. Allah berfirman, fafirru ilallah,
larilah menuju Allah. Dalam hal ini, ada dua macam lari, yaitu lari menjauh
dari Allah, dan lari menuju kepada Allah. Lari model yang pertama tanda orang
tersesat, sedang lari menuju Allah adalah lari yang benar menurut Allah.
Untuk mencapai maqom tadi, yaitu dekat, bersama, dan lari menuju
Allah, diperlukan pengorbanan. Seberapa besar kadar pencapaian kedekatannya
dengan Allah tergantung besar kecilnya pengorbanan seseorang di jalan Allah.
Di sinilah hamba Allah terpilih: Nabi Ibrahim beserta putranya, Nabi
Ismail memberi contoh. Kedua hamba Allah yang bersih ini, tingkatan imannya
mencapai derajat qonitiin, yaitu iman sepenuh jiwa, tanpa reserve. Walau
anaknya harus dikurbankan, sepanjang itu perintah Allah, dilaksanakannya tanpa perasaan berat hati.
Perintah Allah kepada kedua hamba ini, merupakan ujian untuk
mengetahui kesungguhan imannya. Ternyata kedua beliau lulus. Dan, giliran
berikutnya ujian Allah diberikan kepada orang beriman yang lain termasuk kita.
Ujian yang Allah berikan tidak seberat Nabi Ibrahim dan Ismail. Tetapi, Allah
pasti memberi ujian itu. “Apakah manusia mengira mengatakan beriman
kepada-Ku lantas tidak Aku uji? Sungguh sudah Aku uji manusia yang hidup
sebelum kamu untuk mengetahui siapa yang sungguh-sungguh imannya dan siapa yang
bohong.”
Pengalaman
berkurban Nabi Ibrahim dan Ismail, dilanjutkan Nabi Muhammad SAW. Rasul
kesanyangan kita setiap Idul Adha, membeli dua ekor domba gemuk, bertanduk dan
berbulu putih. Setelah menjadi imam shalat Hari Raya Idul Adha dan berkhutbah,
Nabi mengambil seekor domba dan meletakkan telapak kakinya di sisi tubuh domba
seraya berkata, “Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad dan umat Muhammad.” Lalu
Nabi menyembelihnya. Setelah itu, diambilnya yang seekor seraya berkata, “Ya
Allah, terimalah ini dari umatku yang tidak mampu berkurban.”
Para ulama, mengatakan berkurban merupakan sunnah muakkad (sunnah
yang mendekati wajib). Di balik itu, ada pesan yang sangat mendalam tenang
berkurban, di antaranya:
Pertama, saat
Nabi mengatakan kurban untuk dirinya, keluarga dan fakir miskin, itu berarti
berkuban merupakan ibadah sosial. Islam mengajarkan, kalau kita ingin dekat dengan Allah SWT hendaklah mendekati
orang miskin. Daging kurban dibagikan kepada fakir miskin, sebagian boleh
dimakan orang yang berkurban.
Ibadah sosial, begitu penting dalam Islam. Bahkan, ibadah mahdhoh
sekalipun, dikaitkan dengan ibadah sosial. Misalnya, imam dalam shalat jamaah
dianjurkan membaca surat
yang tidak terlalu panjang jika makmumnya banyak orang tua, atau masjidnya
dekat pasar, dikhawatirkan jamaahnya tidak khusuk karena keburu pergi ke pasar.
Orang yang tidak puasa Ramadhan karena sakit, atau menyusui, disyariatkan
memberi makan fakir miskin. Jamaah haji pun dianjurkan membayar dam (denda),
jika ada syarat dan rukun haji yang tidak dilaksanakan, dsb.
Jadi, ritual dalam Islam sering kali dikaitkan dengan sosial. Nabi
Musa, ketika bertanya kepada Allah, “Ya Allah, di mana aku harus mencari-Mu?
Allah menjawab, “ Carilah Aku di tengah-tengah orang yang hatinya hancur.”
Dalam sebuah hadits qudsi, dijelaskan, bahwa kelak di hari kiamat, Allah mendakwa
hamba-hamba-Nya, “Hai hamba-hamba-Ku, dahulu Aku lapar, kalian tidak member-Ku
makanan. Dahulu Aku telanjang, kalian tidak memberi-Ku busana. Dahulu Aku
sakit, kalian tidak member-Ku obat.” Yang didakwa berkata, “Ya Allah, bagaimana
mungkin kami member-Mu makanan, pakaian, dan obat?” Allah berfirman, dahulu ada
hamba-Ku yang lapar, telanjang, dan sakit. Sekiranya kamu mendatangi mereka,
mengenyangkan perut mereka, menutup tubuh mereka, dan mengobatinya, kamu akan
mendapati Aku di situ.
Kedua, Kurban
yang dialami Nabi Ibrahim dan Islmail, merupakan peristiwa simbolis yang perlu
dicari pesan moral di dalamnya. Di antaranya,
menciptakan suasana dialogis dalam membicarakan sesuatu yang penting
antara orang tua dengan putranya. Nabi Ibrahim mengetahui, bahwa mimpi yang
dialaminya adalah wahyu Allah, tetapi beliau masih meminta pendapat terhadap
putranya “Aku bermimpi agar menyembelih kamu, bagaimana menurut kamu?” Sebagai
bapak tidak mentang-mentang kuasa dan memaksakan kehendak, tetapi mendahulukan
dialog.
Sebagai anak yang baik, Ismail memberi jawaban yang melegakan ayahnya.
“Kalau itu perintah Allah, laksanakan insya Allah kelak akan mendapatiku dalam
keadaan sabar.” Inilah jawaban tulus dan bijak seorang anak. Dari kisah ini,
Nabi Ibrahim memberi contoh kepada para orang tua, atasan, majikan, guru, kyai, pemimpin, dan
sebagainya. Sedang Ismail memberi contoh kepada anak, buruh, murid, santri,
rakyat, dan sebagainya harus memberi jawaban melegakan jika diajak dialog.
Terjadinya aksi demo, protes, saling serbu, saling bunuh, bahkan aksi
membakar orang hidup-hidup karena persoalan sepele atau tindakan anarkhis
lainnya belakangan sumbernya karena dialog tidak dibangun. Tidak ada komunikasi
yang arif dan bijak antara yang lebih besar dengan yang lebih kecil. Yang besar
merasa turun derajat jika menampung aspirasi bawahan, bawahan menganggap
pemimpinnya tak layak menjadi panutan karena suka bohong, tidak tepat janji,
dan tidak bisa dipercaya. Buntutnya, tidak adanya komunikasi menyebabkan
kehidupan menjadi panas. Inilah gambaran jika kedua belah pihak lari dari
petunjuk Allah.
Pelajaran lain yang bisa diambil, seperti yang dialami jamaah haji,
yaitu kembali menuju Allah. Hendaknya kita sadari bahwa hidup ini, datang dari
Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita tidak tahu kapan kembali ke alam
baqo’. Sekali lagi, kita pasti akan kembali kepada Allah. Tetapi banyak orang
lupa hal itu. Ketika Allah bertanya, “Fa’aina tadhabun? Engkau hendak ke
mana?, jawabnya tidak jelas, tidak tahu harus menjawab apa.
Mengapa demikian? Karena banyak orang salah sangka terhadap kehidupan
ini. Banyak yang mengira harta dapat memberi ketenangan sehingga berbagai cara
dilakukan untuk mendapatkannya. Ternyata sampai lelah perjalanan hidupnya,
harta tidak mampu memberi jawaban memuaskan. Ada yang mengira kedudukan sebagai jawaban
yang bisa memuaskan sehingga berbagai cara dilakukan untuk meraihnya. Sampai
lelah merebut kedudukan ternyata kebahagiaan tidak kunjung didapat.
Salah satu jawaban paling tepat adalah kembali ke jalan Allah. Kita
berhenti sejenak melakukan “wukuf dalam kehidupan” ini untuk menyampaikan
kesalahan kepada Allah. Kita bercerita kepada Allah apa dosa, dan salah yang
sudah kita lakukan. Hidup yang sementara ini sering diisi dengan lupa dan
salah. Dan kalau Allah tidak mengampuni, kita akan termasuk golongan orang
merugi.
Maka, kita harus berupaya menjadi orang yang selalu tawaf di sekitar
ka’bah. Jika kita tidak melaksanakan ibadah haji, jadikan hidup kita habis di
sekitar tempat sujud agar mendapatkan kepuasan. Itulah makna “lari” menuju
Allah yang sebenarnya. Fafirru ilallah, larilah menuju Allah.
Kita berdoa agar menjadi orang yang selalu dekat dengan Allah, bersama
Allah, lari dan lari menuju Allah. Untuk
menuju semua itu, dibutuhkan pengorbanan. Salah satu bentuk pengorbanan yang
kita lakukan adalah menyembelih ternak yang kelak akan kita jumpai di surga
Allah.



