Thursday, October 23, 2014

Mendekati Allah dengan Berkurban



Sebagai orang beriman kepada Allah, hendaknya berhati-hati menempnuh kehidupan. Jika lengah dan salah arah bisa melenceng dari tujuan hidup, tersesat.
Agar tidak terjadi kesalahan, sempatkan berhenti sejenak, melihat kembali arah jalan yang benar. Arahkan biduk hidup ini lurus menuju Allah SWT. Berhenti sejenak dalam ibadah haji dikenal dengan wukuf. Saat itu hamba melakukan koreksi diri secara total, dan mengakui kesalahan yang pernah diperbuat.
Perjalanan yang salah arah, melenceng, dan tersesat harus segera diubah. Jika dibiarkan, termasuk golongan orang merugi (khoosirin). Sebagai “penebusnya”, Allah mendorong kita agar berlomba menjadi orang yang baik (fastabiqul khairaat).
Orang yang baik, memiliki beberapa tanda: Pertama, dekat kepada Allah. Ini posisi yang sangat baik, harus dicari. “Jika hamba-Ku bertanya tentang Aku, katakan Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa. Beribadahlah dan berimanlah kepada-Ku agar kamu menjadi orang cerdas. Berdasar ayat ini, kalau ingin dekat Allah, dua hal harus dilakukan, beribadah dan beriman. Dengan demikian kita merasakan kedekatan dengan Allah. “Wa nahnu aqrobu ilaihi min hablil wariid” (Dan, kami lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya.)
Kedua, selalu merasa “bersama” Allah. Dalam Al-Quran ditegaskan, posisi ini khusus dimiliki orang yang sabar. “Wasta’iinu bishshobri washsholaah, innallaaha ma’ashshoobiriin.” (Mintalah kepada-Ku dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah “bersama” orang-orang  yang sabar.) Tanda orang sabar yaitu, ikhlash menjalankan perintah Allah, mau menghindari larangan Allah dan tidak mengeluh jika mendapat ujian dari Allah.
Ketiga, orang yang baik, selalu “lari” kepada Allah. Allah berfirman, fafirru ilallah, larilah menuju Allah. Dalam hal ini, ada dua macam lari, yaitu lari menjauh dari Allah, dan lari menuju kepada Allah. Lari model yang pertama tanda orang tersesat, sedang lari menuju Allah adalah lari yang  benar menurut Allah.
Untuk mencapai maqom tadi, yaitu dekat, bersama, dan lari menuju Allah, diperlukan pengorbanan. Seberapa besar kadar pencapaian kedekatannya dengan Allah tergantung besar kecilnya pengorbanan seseorang di jalan Allah.
Di sinilah hamba Allah terpilih: Nabi Ibrahim beserta putranya, Nabi Ismail memberi contoh. Kedua hamba Allah yang bersih ini, tingkatan imannya mencapai derajat qonitiin, yaitu iman sepenuh jiwa, tanpa reserve. Walau anaknya harus dikurbankan, sepanjang itu perintah Allah,  dilaksanakannya tanpa perasaan berat hati.
Perintah Allah kepada kedua hamba ini, merupakan ujian untuk mengetahui kesungguhan imannya. Ternyata kedua beliau lulus. Dan, giliran berikutnya ujian Allah diberikan kepada orang beriman yang lain termasuk kita. Ujian yang Allah berikan tidak seberat Nabi Ibrahim dan Ismail. Tetapi, Allah pasti memberi ujian itu. “Apakah manusia mengira mengatakan beriman kepada-Ku lantas tidak Aku uji? Sungguh sudah Aku uji manusia yang hidup sebelum kamu untuk mengetahui siapa yang sungguh-sungguh imannya dan siapa yang bohong.”
Pengalaman berkurban Nabi Ibrahim dan Ismail, dilanjutkan Nabi Muhammad SAW. Rasul kesanyangan kita setiap Idul Adha, membeli dua ekor domba gemuk, bertanduk dan berbulu putih. Setelah menjadi imam shalat Hari Raya Idul Adha dan berkhutbah, Nabi mengambil seekor domba dan meletakkan telapak kakinya di sisi tubuh domba seraya berkata, “Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad dan umat Muhammad.” Lalu Nabi menyembelihnya. Setelah itu, diambilnya yang seekor seraya berkata, “Ya Allah, terimalah ini dari umatku yang tidak mampu berkurban.”
Para ulama, mengatakan berkurban merupakan sunnah muakkad (sunnah yang mendekati wajib). Di balik itu, ada pesan yang sangat mendalam tenang berkurban, di antaranya:
Pertama, saat Nabi mengatakan kurban untuk dirinya, keluarga dan fakir miskin, itu berarti berkuban merupakan ibadah sosial. Islam mengajarkan, kalau kita ingin  dekat dengan Allah SWT hendaklah mendekati orang miskin. Daging kurban dibagikan kepada fakir miskin, sebagian boleh dimakan orang yang berkurban.
Ibadah sosial, begitu penting dalam Islam. Bahkan, ibadah mahdhoh sekalipun, dikaitkan dengan ibadah sosial. Misalnya, imam dalam shalat jamaah dianjurkan membaca surat yang tidak terlalu panjang jika makmumnya banyak orang tua, atau masjidnya dekat pasar, dikhawatirkan jamaahnya tidak khusuk karena keburu pergi ke pasar. Orang yang tidak puasa Ramadhan karena sakit, atau menyusui, disyariatkan memberi makan fakir miskin. Jamaah haji pun dianjurkan membayar dam (denda), jika ada syarat dan rukun haji yang tidak dilaksanakan, dsb.
Jadi, ritual dalam Islam sering kali dikaitkan dengan sosial. Nabi Musa, ketika bertanya kepada Allah, “Ya Allah, di mana aku harus mencari-Mu? Allah menjawab, “ Carilah Aku di tengah-tengah orang yang hatinya hancur.” Dalam sebuah hadits qudsi, dijelaskan, bahwa  kelak di hari kiamat, Allah mendakwa hamba-hamba-Nya, “Hai hamba-hamba-Ku, dahulu Aku lapar, kalian tidak member-Ku makanan. Dahulu Aku telanjang, kalian tidak memberi-Ku busana. Dahulu Aku sakit, kalian tidak member-Ku obat.” Yang didakwa berkata, “Ya Allah, bagaimana mungkin kami member-Mu makanan, pakaian, dan obat?” Allah berfirman, dahulu ada hamba-Ku yang lapar, telanjang, dan sakit. Sekiranya kamu mendatangi mereka, mengenyangkan perut mereka, menutup tubuh mereka, dan mengobatinya, kamu akan mendapati Aku di situ.
Kedua, Kurban yang dialami Nabi Ibrahim dan Islmail, merupakan peristiwa simbolis yang perlu dicari pesan moral di dalamnya. Di antaranya,  menciptakan suasana dialogis dalam membicarakan sesuatu yang penting antara orang tua dengan putranya. Nabi Ibrahim mengetahui, bahwa mimpi yang dialaminya adalah wahyu Allah, tetapi beliau masih meminta pendapat terhadap putranya “Aku bermimpi agar menyembelih kamu, bagaimana menurut kamu?” Sebagai bapak tidak mentang-mentang kuasa dan memaksakan kehendak, tetapi mendahulukan dialog.
Sebagai anak yang baik, Ismail memberi jawaban yang melegakan ayahnya. “Kalau itu perintah Allah, laksanakan insya Allah kelak akan mendapatiku dalam keadaan sabar.” Inilah jawaban tulus dan bijak seorang anak. Dari kisah ini, Nabi Ibrahim memberi contoh kepada para orang tua,  atasan, majikan, guru, kyai, pemimpin, dan sebagainya. Sedang Ismail memberi contoh kepada anak, buruh, murid, santri, rakyat, dan sebagainya harus memberi jawaban melegakan jika diajak dialog.
Terjadinya aksi demo, protes, saling serbu, saling bunuh, bahkan aksi membakar orang hidup-hidup karena persoalan sepele atau tindakan anarkhis lainnya belakangan sumbernya karena dialog tidak dibangun. Tidak ada komunikasi yang arif dan bijak antara yang lebih besar dengan yang lebih kecil. Yang besar merasa turun derajat jika menampung aspirasi bawahan, bawahan menganggap pemimpinnya tak layak menjadi panutan karena suka bohong, tidak tepat janji, dan tidak bisa dipercaya. Buntutnya, tidak adanya komunikasi menyebabkan kehidupan menjadi panas. Inilah gambaran jika kedua belah pihak lari dari petunjuk Allah.
Pelajaran lain yang bisa diambil, seperti yang dialami jamaah haji, yaitu kembali menuju Allah. Hendaknya kita sadari bahwa hidup ini, datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita tidak tahu kapan kembali ke alam baqo’. Sekali lagi, kita pasti akan kembali kepada Allah. Tetapi banyak orang lupa hal itu. Ketika Allah bertanya, “Fa’aina tadhabun? Engkau hendak ke mana?, jawabnya tidak jelas, tidak tahu harus menjawab apa.
Mengapa demikian? Karena banyak orang salah sangka terhadap kehidupan ini. Banyak yang mengira harta dapat memberi ketenangan sehingga berbagai cara dilakukan untuk mendapatkannya. Ternyata sampai lelah perjalanan hidupnya, harta tidak mampu memberi jawaban memuaskan. Ada yang mengira kedudukan sebagai jawaban yang bisa memuaskan sehingga berbagai cara dilakukan untuk meraihnya. Sampai lelah merebut kedudukan ternyata kebahagiaan tidak kunjung didapat.
Salah satu jawaban paling tepat adalah kembali ke jalan Allah. Kita berhenti sejenak melakukan “wukuf dalam kehidupan” ini untuk menyampaikan kesalahan kepada Allah. Kita bercerita kepada Allah apa dosa, dan salah yang sudah kita lakukan. Hidup yang sementara ini sering diisi dengan lupa dan salah. Dan kalau Allah tidak mengampuni, kita akan termasuk golongan orang merugi.
Maka, kita harus berupaya menjadi orang yang selalu tawaf di sekitar ka’bah. Jika kita tidak melaksanakan ibadah haji, jadikan hidup kita habis di sekitar tempat sujud agar mendapatkan kepuasan. Itulah makna “lari” menuju Allah yang sebenarnya. Fafirru ilallah, larilah menuju Allah.
Kita berdoa agar menjadi orang yang selalu dekat dengan Allah, bersama Allah, lari dan lari menuju Allah.  Untuk menuju semua itu, dibutuhkan pengorbanan. Salah satu bentuk pengorbanan yang kita lakukan adalah menyembelih ternak yang kelak akan kita jumpai di surga Allah. 

Dekat dari Allah



Ini guyon. Calon jamaah haji Indonesia, karena capek, begitu masuk pesawat ber-AC, langsung tertidur lelap, pulas. Begitu pesawat akan terbang, pramugari membangunkannya.
“Maaf Pak, sabuk pengamannya dipakai. Bahaya Pak, pesawat mau terbang.” “Oh…iya... ya, untung adik mengingatkan. Kalau tidak bahaya kan? Pesawat ini sudah terbang tinggi ya. Itu manusia kelihatan kecil seperti semut.”
“Oh… maaf Pak. Pesawat belum terbang. Yang tampak seperti semut itu bukan manusia, itu memang semut beneran,” jawab pramugari.  “Oh…maaf, Dik. Saya kira itu manusia,” ujarnya.
Penumpang ini mengalami “kesalahan” dalam melihat sesuatu karena persoalan sudut pandang dari jarak “jauh atau dekat”. Semut dikira manusia karena merasa melihat dari jauh. Padahal posisinya cukup dekat.
Jauh dan dekat itu relatif. Tergantung bagaimana melihat dan menyikapinya. Bisa jadi, sesuatu yang dekat dianggap jauh, atau sebaliknya yang jauh dianggap dekat. Coba kita rasakan alis, hidung, pipi, dan kening itu dekat tetapi kesannya jauh karena tidak bisa dilihat kecuali menggunakandar cermin.
Ada satu saran agar mengetahui hakikat jauh dan dekat. Yaitu sesekali tanyakan kepada pengemis. Dia akan merasakan makna jauh dan dekat itu. Lha kok bisa? Pengemis yang duduk menunggu uluran tangan orang yang keluar-masuk di depan pintu keluar masuk bank punya kesan mendalam tentang jauh dan dekat. Secara fisik, uang di bank itu dekat dengan dirinya karena dia bertada di dalam lingkungan bank tetapi kenyataannya dia merasa jauh dari uang.
Tanyakan kepada copet yang sering nggasak dompet, sandal, dan motor di halaman masjid. Secara fisik, masjid dekat dengannya, tetapi dalam makna rokhani, masjid “jauh” dari hatinya.
Begitu pula “shalat” bagi yang tidak khusyuk. Shalat itu berat (jauh dari hati) bagi seseorang kecuali bagi yang khusyuk. Shalat bukan hanya dekat sebab diamalkan. Tetapi, pesan shalat terasa jauh dari kehidupan orang yang tidak khusyuk tadi.
Sesekali tanyakan kepada para ustad, muballigh, dan tokoh agama. Apakah nilai agama yang diceramahkan itu jauh atau dekat dari dirinya. Ini penting. Sebab ada kalanya orang beragama hanya di lisannya, di ujung penanga (bagi pengarang), di baju dan sorbannya, di kopiah, di tasbih, di penampilannya, dll. Kalau tidak hati-hati nilai agama tidak membekas dalam amalannya.
Adalah wajar jika dalam realitas sehari-hari, sering kita jumpai sesuatu yang kontradiksi. Misal, sebuah mosholla dianggap remeh sehingga membangunnya seadanya saja, kecil di balik megahnya hotel. Ini bukti, di benak pemilik hotel tidak terlalu dekat Allah. 
Di Indonesia, negara yang warganya 100% beragama–-kini ada 6 agama sejak Khong Hu Chu diakui resmi oleh pemerintah—tetapi kenyataannya pelanggaran terhadap ajaran agama, hukum, moral, sosial, dan perilaku negatif lain begitu kuat. Ini berarti nilai agama jauh dari hati pemeluknya.
Mereka baru sadar akan pentingnya agama, setelah mendengar dampak lebih buruk dari setiap pelanggaran agama. Ada penjelasan dampak berbuat zina di negeri ini, tahun 2010 nanti, pengidap virus HIV/Aids mencapai 5 juta jiwa. Fantastis. Ini artinya orang yang menjauh dari agama begitu banyak.
Maka, ada baiknya kita belajar kembali memahami makna “jauh dan dekat” secara tepat, agar di saat kita dekat dengan kebenaran merasa jauh dari kebatilan. Atau sebaliknya, di saat kita dekat dengan kebatilan merasa jauh dari kebenaran. Dus, kita bisa menyikapinya secara benar, tidak seperti penumpang pesawat yang mengira semut sebagai manusia tadi. (*)

Gemuruh Suara di Angkasa



Pendaki Semeru kaget. Di atas ketinggian tertentu, dia mendengar deru motor. Entah suara siapa dan dari mana. Kata sebagian orang, suara itu datang dari jalan raya, di sekitar Semeru. Suara itu “naik” dan terdengar dari atas.
Jika ini benar, jangan kaget kalau saat mendaki, tiba-tiba mendengar ada suara orang atau suara anak menjerit, menangis, tertawa, dll. Bisa jadi, itu suara mereka di bawah yang dihembus angin atau suara yang sedang “naik” ke atas melalui sekitar puncak sehingga terdengar telinga pendaki.
Suara apa pun dan siapa pun tidak pernah hilang. Semua suara naik ke tempat yang tak terbatas. Jika ini benar, bukan hal aneh kalau salah seorang astronot Amerika mengaku mendengar adzan saat mendarat di bulan. Mungkin, itu suara muadzin yang sedang naik ke atas.
Ada teman saya cukup “aneh”. Ketika masih duduk di bangku SMA, dia jarang membawa catatan, cukup menaruh batu di pojok kelas. Setelah pulang, batu tadi diambilnya dan di rumah didengarkannya. Penjelasan guru terekam di batu dan bisa didengar dengan baik. Belief it or not, itulah yang terjadi.
Kalau itu benar, hati-hati mengeluarkan suara. Setiap kata yang keluar dari lisan seseorang bisa didengar oleh “siapa” saja asal bisa melacaknya. Jika mengikuti paham ini, maka begitu riuhnya aneka suara di “atas” sana. Dan, inilah remakan abadi di lauhil mahfudz. Gemuruh suara itu mencerminkan pemiliknya. Jika ahli ibadah, yang terdengar ucapan yang baik-baik.
Tetapi, mereka yang suka mesuh, kata yang terdengar cacian, umpatan, fitnah, adu domba, dll. Orang yang suka marah, kalimat yang akan diperdengarkan kembali kelak kalimat menghujat, memaki, atau kalimat yang tak senonoh. Maka, hati-hatilah mengeluarkan suara, kelak bakal malu sendiri.
Agama benar-benar meyakinkan kita, bahwa kelak setiap suara akan diperdengarkan kembali. Rekaman itu akan diputar kembali. Tak ada kata yang luput dari rekaman abadi itu. Alam menjadi saksi. Maka, dalam surat Yasin dijelaskan, bahwa kelak manusia akan ditanya, yang menjawab bukan lisannya karena sedang dikunci. Yang bercerita adalah tangan, kaki, dan sekujur tubuhnya. Sedang suara sudah ada, tinggal mendengarkan suara yang tidak pernah hilang itu.
Jika demikian yang terjadi, masihkah kita akan main-main dengan kata dan kalimat yang keluar dari lisan kita? Terutama bagi para politisi, calon bupati, calon gubernur, calon presiden, dll. Setiap janji yang tidak direalisasi, kelak akan diperdengarkan kembali. Kita dipermalukan dengan kata dan kalimat yang pernah kita ucapkan sendiri.
Yang terjadi selama ini, banyak politisi, pejabat, dan tokoh masyarakat yang kurang hati-hati dalam mengumbar kata dan kalimat. Ucapannya seperti orang meludah, tanpa beban. Padahal tidak demikian. Setiap kata dan kalimat ada “bekasnya” sehingga tidak akan pernah terlupakan. Diam itu emas, orang yang banyak diam akan selamat dari jebakan kesalahan ucap.
Setiap bangsa memiliki ciri khasnya. Orang Jepang dikenal karena kebersihannya. Warung orang Jepang tempat masaknya di depan sehingga bisa dilihat pemiliknya jorok apa tidak. Orang Arab dikenal rajin berdagang untuk mendapatkan fulus. Orang Inggris dikenal etos kerjanya yang tinggi. Orang Belanda terkenal karena ketekunannya. Orang Jerman dikenal keberanian (jiwa kepahlawanannya). Dan orang Indonesia dikenal karena lemah lembutnya.
Orang yang lemah lembut, setidaknya tampak dari cara bertutur kata. Selain sopan dan santun, kata yang dipilih selalu yang terbaik. Tetapi, seiring dengan reformasi yang baru saja dilalui, bangsa Indonesia tampaknya mulai “berani” bicara apa adanya sehingga sering kasar dan kelaur dari lazimnya. Bangsa Indonesia seolah lupa pada jati dirinya yang lemah lembut.
Saat Susilo Sudarman menjadi Menteri Pariwisata, ditekankan agar bangsa Indonesia selalu mengembangkan tujuh sikap agar wisatawan tertarik dan betah berada di negeri ini. Salah satunya, mengembangkan senyum dan berbicara santun. Ini penanaman yang cukup berhasil waktu itu, tetapi bubrah kembali pada periode berikutnya karena tidak “dipelihara” secara baik.
Kini, kian terasa. Sikap lemah lembut, sopan dan santunnya mulai sedikit digerogoti keadaan. Peran elit politik, pemimpin, dan tokoh masyarakat sangat besar dalam ikut menciptakan suasana yang baik dan kondusif.
Eloknya negeri ini tergantung pada sikap dan cara bicara warga dan pemimpinnya. Kita perlu koreksi kembali perjalanan reformasi yang sedikit ngudari kebiasan berbicara santun agar tidak hilang dari anak negeri ini. Jika hal ini kita biarkan terus menerus, maka gemuruh suara di angkasa akan carut marut, sebab yang terdengar tidak lebih dari cacian, hujatan, fitnah, adu domba, dan kalimat sarkas lainnya. Bukan kalimat sopan, santun, teduh, dan menyejukkan jiwa. Kapan? (*)

Menikmati Usia Tua



Di pojok-pojok gang kecil di Guang Dong, RRC atau sekitar lapangan tengah kota itu --pagi dan sore-- selalu tampak orang tua bermain remi. Mereka bergerombol sesama “geng”-nya, bersantai ria. Bekerja keras, tidak mungkin. Faktor usia tua yang sudah tidak bisa diajak produktif.
Nah, untuk “membunuh” waktu, orang tua (ortu) itu ada yang ngorbol sepanjang waktu, ada juga yang berlama-lama ngucut remi. Dengan cara itu, tidak terasa waktu bergulir. Hari-harinya berlalu tanpa membosankan. Begitulah  kebiasaan manula di negara lain, santai dan tampak menyenangkan. Benarkah? Nggak tahu juga, yang jelas tampaknya begitu.
Penulis yakin, orang tua yang berdirinya sudah tidak tegak itu sifatnya heterogen. Maksudnya, ada dari kalangan wong cilik dan sebagain yang lain pernah menjadi pejabat. Karena merasa terhibur, dari raut mukanya tidak ada kesedihan. Main remi bagian dari kenikmatan. Itu salah satu cara “membunuh” waktu agar tidak jenuh.
Sedikit beda dengan manula di negara kita, terutama mantan pejabat. Post power syndrome sering menghantui. Banyak dijumpai, pensiunan tidak siap menghadapi realitas yang sebenarnya. Ini cerita sejumlah pensiunan. Hari-hari pertama memasuki masa pensiun, ada saja yang lupa bersepatu akan dinas. Di tengah jalan baru sadar kalau dirinya sudah pensiun sehingga ngacir, pulang.
Mengapa tidak siap? Ya… status sosialnya berubah, ekonominya melorot, dan faktor lain. Orang yang semula dihormati, setelah pensiun dicueki. Awalnya dipuja-puja, lantas tidak dihiraukan. Yang lebih tragis ada mantan pejabat yang terpuruk sehingga merasa “jatuh”.
Bicara manula, ada cerita teman yang bertahun-tahun hidup di Jakarta. Menurutnya, banyak mantan pejabat yang kondisinya memprihatinkan. Maksudnya? Antara bleger dengan realitasnya tidak sama. Beda jauh, ibarat langit dengan bumi. Tampak hebat tapi keropos, katanya.
“Lho, mereka kan mantan orang penting dan terpandang?” tanya penulis. Fasilitas, kekayaan, hal lain masih tersedia. Iya, tapi itu dulu semasa jaya. Sekarang sama sekali jauh, beda dengan ketika masih jaya.
Mereka yang sudah tua banyak yang mengenaskan, imbuhnya. Teman saya yang bekerja di bank besar di Jakarrta bercerita soal itu. Maksudnya, banyak mantan pejabat yang terbelit hutang di bank? Bukan hanya itu, ada saja persoalan yang meliliti. Kekuasaan yang dibangun semasa jaya, tidak bisa dipertahankan lagi.
Ada juga karena semasa aktif tidak sempat mengendalikan akhlak anaknya, setelah pensiun baru tahu kalau anak-anaknya ada yang terjerumus pada tindak amoral, terjerat dunia hitam, dan asyik di dunia gelap. Padahal, di usia tua para manula butuh sentuhan jiwa anak-anaknya.
Alangkah pedihnya, jiwa yang sudah capek, tenaga loyo, kawan yang telah banyak menghilang, dan sebagainya, yang datang justru persoalan. Di saat butuh perhatian, layanan, dan suasana rumah yang tenang, dan damai, yang dirasakan seperti yang diceritakan teman tadi. Banyak mantan pejabat yang nelongso karena terhimpit berbagai persoalan.
Semua itu kita jadikan pelajaran berharga. Doa kita semoga kita tidak mengalami nasib seperti itu. Kita doakan mereka yang bersedih karena dililiti berbagai persoalan dapat lebih dekat lagi kepada Tuhan agar hidupnya tenang.
Apalagi yang ditunggu kalau bukan ketenangan jiwa. Nah, untuk menuju ke sana, semasa aktif menjabat sebisa mungkin menghindari tindakan penyalahgunaan uang negara. Agar khusnul khotimah, kita bangun sejak sekarang hidup agamis, lurus, dan benar. Semoga kita bisa.  (*)