Ikhlas itu mempunyai bukti sebagai penguat dan mempunyai tanda-tanda
dari perilakunya sebagai orang yang mukhlis (orang ikhlas). Diantaranya:
Pertama, takut
akan ketenaran. Ini bukan berarti orang ikhlas tidak boleh tenar. Sebab
ketenaran itu bisa didapat karena ma’unah (pertolongan) Allah. Tetapi
yang perlu dihindari adalah, upaya menjadi orang tenar dengan berbagai cara.
Sikap seperti ini biasanya punya tujuan tersembunyi. Ada maksud lain di balik ketenarannya.
Setidaknya, ingin mendapat pujian. Jika demikian motivasinya, segala upaya yang
dilakukan berangkatnya bukan dari hati yang ikhlas.
Belakangan banyak orang yang berupaya menjadi orang tenar dengan
berbagai cara. Misalnya, melibatkan diri dalam berbagai aktivitas secara
ambisius dengan tujuan ingin tenar. Tidak jarang rambu agama diterjangnya.
Masih ingat jawaban seorang artis yang berpose bugil di cover sebuah
majalah. Ketika ditanya, mengapa dirinya melakukan hal itu? Jawabnya sederhana,
ingin dikenal masyarakat luas. Wah… jiwanya terlalu kerdil.
Orang seperti ini lupa, nama tenar apalagi diperoleh dengan cara tidak
benar tidak akan langgeng, sifatnya sementara. Banyak contoh, orang yang begitu
dikenal hanya dalam hitungan tahun sudah pudar bahkan jadi bahan cemoohan.
Kedua, menuduh diri
sendiri. Dia tidak malu mengatakan dirinya sudah “keterlaluan” dalam mengisi
hidup. Betapa tidak, kita merasakan begitu banyak nikmat Allah, tetapi terima
kasih kita apa?
Orang ikhlas mengetahui, bahwa Tuhan tidak membutuhkan balasan. Yang
diminta hanyalah “pengertian” diri kita sebagai hamba, mau berterima kasih atau
tidak. Kalau berterima kasih (bersyukur) dijanjikan akan ditambah nikmat yang
lain.
Hanya orang ikhlas yang bisa berterima kasih kepada Allah yang telah
memberikan segalanya kepada kita. Mereka yang lupa diri, menganggap fasilitas
hidup diterimanya secara gratis, bahkan dianggapnya ada dengan sendirinya.
Maka, tak perlu berterima kasih kepada siapa pun.
Inilah bedanya. Orang yang pandai berterima kasih akan merasa bersalah
jika dirinya melupakan semua pemberian Tuhan. Maka, dia menuduh diri sendiri
sebagai orang yang sangat hina di hadapan Allah.
Ketiga beramal
diam-diam jauh dari sorotan. Ini hampir sama dengan yang pertama. Dia berupaya
untuk melakukan banyak hal yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Rasulullah
menggambarkan, orang ikhlas itu
ibaratnya orang beramal dengan tangan kanan, tetapi tangan kirinya tidak tahu.
Jadi, sungguh sangat rahasia.
Lantas, bagaimana kalau amalnya dipublikasikan? Tidak masalah
sepanjang bisa menjaga hatinya agar tidak ada unsur pamer. Publikasi atau
disiarkan dalam rangka memberi contoh berbuat baik bagi orang lain tidak
masalah. Ini sah-sah saja.
Maka, orang ikhlas mengetahui bagaimana menjaga hati agar tidak
terpeleset melakukan setiap amalan kepada perbuatan pamer. Ini yang selalu
dihindari. Pertanyaannya adalah, apakah kita sudah menjadi orang yang ikhlas dengan
indikasi tadi? Yang bisa menjawab adalah diri kita masing-masing.
Keempat, tidak
menuntut pujian dan tidak terkecoh oleh pujian. Orang ikhlas dalam bekerja
–termasuk dalam beribadah—tidak ingin mendapat pujian. Semua dikerjakan semata
mencari ridho Allah.
Khalid bin Walid, yang menjadi panglima perang di zaman khalifah Umar
bin Khottob selalu membawa kemenangan. Sampai-sampai memunculkan kekaguman luar
biasa. Khawatir mengarah pada kultus individu –ini dilarang agama—Umar lantas
melengserkannya, diganti penglima perang yang masih sangat muda.
Apa komentar Khalid bin Walid ketika dirinya dilengserkan? “Saya
berjuang untuk Allah, bukan untuk Umar,” jawabnya singkat. Artinya, dirinya
tidak mempersoalkan pelengseran dirinya sebab apa yang dilakukannya itu bukan
untuk Umar, tetapi untuk mencari ridho Allah. Khalid menerima pelengseren
dengan hati ikhlas.
Sikap ini keluar dari lubuk hati yang mendalam. Mustahil seseorang
menerima pelengseran jika niatnya dalam berjuang untuk mendapat pujian. Ali bin
Abi Tholib pernah mengingatkan, bahwa tanda keikhlasan seseorang tampak dari
saat mendapat pujian dia tidak banggsa, dan kalau dicemooh tidak sakit hati.
Bisakah kita begitu?
Kelima, tidak
kikir pujian terhadap orang yang memang layak dipuji. Rasulullah SAW berpesan
kepada kita, kalau kita memang mencintai seseorang maka jangan disembunyikan.
Katakan kepada dia bahwa Anda memang mencintai (cinta yang bukan terkait dengan
birahi).
Dalam kenyataan banyak orang yang kikir memberi pujian kepada orang
lain, anak buah, teman, dan sebagainya. Padahal, memuji seseorang itu perlu,
asal tidak berlebihan. Dengan pujian itu, dia semakin meningkatkan
kebolehannya. Prestasi seseorang lebih meningkat kalau dipuji. Jangan pelit
mengucapkan kata hebat, baik, bagus’ atau kata lain yang sejenis kepada orang
lain kalau memang layak mendapat pujian.
Orang memuji itu pertanda bahwa dalam dirinya ada perasaan rendah hati
sehingga mau mengakui kelebihan orang lain. Berbeda dengan orang sombong, tidak
mau mengakui apalagi memuji orang lain. Mengapa tidak mau mengakui kelebihan
orang lain? Takut kewibawannya hilang.
Orang yang senang memuji, akan mendapat pujian dari orang lain.
Sebaliknya orang yang suka mencela, juga akan mendapat celaaan. Pujian yang
diberikan, mampu mendorong semangat orang lain untuk mempertahankan kebaikan
yang dilakukan atau meningkatkan kebaikan yang pernah dilakukan.
Keenam,
berbuat selayaknya. Artinya, perbuatannya tidak dibuat-buat alias apa adanya.
Jika dia sebagai pemimpin, perbuatannya apa adanya. Tidak senang jika
kehadirannya disambut dengan acara meriah, apalagi diperlakukan secara
istimewa. Misalnya, ketika masuk ruangan hadirin berdiri. Nabi SAW tidak mau
masuk ruangan kalau yang hadir berdiri dalam rangka menyambut kedatangannya.
Sikap kesehariannya, tidak mengada-ada. Kalau memang tidak mampu
dikatakan tidak mampu dan memberi kesempatan kepada anak buahnya untuk
meneruskan pembahasannya agar bisa tuntas. Tanpa rasa malu mengatakan, “Saya
tidak menguasai persoalan ini.”
Kalau dia mampu, tidak berlagak sok hebat. Biasa saja, tetap kalem,
rendah hati, dan mau menerima masukan dari anak buahnya. Nabi SAW sering dalam
rapat-rapat dengan para sahabat mengakui pendapatnya tidak kuat, pendapat orang
lain jauh lebih bagus.
Sehebat apa pun kemampuan yang dimiliki seseorang, pasti ada
kekurangan dan kelemahan. Maka, dia dengan senang hati menerima masukan dari
siapa saja. Sikapnya yang demikian ini, menjadikan orang lain menaruh hormat
kepadanya. Sebaliknya orang yang sok hebat, orang lain justru mencibir
kepadanya.

No comments:
Post a Comment