Wednesday, October 22, 2014

Sudahkah Kita Menjadi Orang Ikhlas?



Ikhlas itu mempunyai bukti sebagai penguat dan mempunyai tanda-tanda dari perilakunya sebagai orang yang mukhlis (orang ikhlas). Diantaranya:
Pertama, takut akan ketenaran. Ini bukan berarti orang ikhlas tidak boleh tenar. Sebab ketenaran itu bisa didapat karena ma’unah (pertolongan) Allah. Tetapi yang perlu dihindari adalah, upaya menjadi orang tenar dengan berbagai cara. Sikap seperti ini biasanya punya tujuan tersembunyi. Ada maksud lain di balik ketenarannya. Setidaknya, ingin mendapat pujian. Jika demikian motivasinya, segala upaya yang dilakukan berangkatnya bukan dari hati yang ikhlas.
Belakangan banyak orang yang berupaya menjadi orang tenar dengan berbagai cara. Misalnya, melibatkan diri dalam berbagai aktivitas secara ambisius dengan tujuan ingin tenar. Tidak jarang rambu agama diterjangnya.
Masih ingat jawaban seorang artis yang berpose bugil di cover sebuah majalah. Ketika ditanya, mengapa dirinya melakukan hal itu? Jawabnya sederhana, ingin dikenal masyarakat luas. Wah… jiwanya terlalu kerdil.
Orang seperti ini lupa, nama tenar apalagi diperoleh dengan cara tidak benar tidak akan langgeng, sifatnya sementara. Banyak contoh, orang yang begitu dikenal hanya dalam hitungan tahun sudah pudar bahkan jadi bahan cemoohan.
Kedua, menuduh diri sendiri. Dia tidak malu mengatakan dirinya sudah “keterlaluan” dalam mengisi hidup. Betapa tidak, kita merasakan begitu banyak nikmat Allah, tetapi terima kasih kita apa?
Orang ikhlas mengetahui, bahwa Tuhan tidak membutuhkan balasan. Yang diminta hanyalah “pengertian” diri kita sebagai hamba, mau berterima kasih atau tidak. Kalau berterima kasih (bersyukur) dijanjikan akan ditambah nikmat yang lain.
Hanya orang ikhlas yang bisa berterima kasih kepada Allah yang telah memberikan segalanya kepada kita. Mereka yang lupa diri, menganggap fasilitas hidup diterimanya secara gratis, bahkan dianggapnya ada dengan sendirinya. Maka, tak perlu berterima kasih kepada siapa pun.
Inilah bedanya. Orang yang pandai berterima kasih akan merasa bersalah jika dirinya melupakan semua pemberian Tuhan. Maka, dia menuduh diri sendiri sebagai orang yang sangat hina di hadapan Allah.
Ketiga beramal diam-diam jauh dari sorotan. Ini hampir sama dengan yang pertama. Dia berupaya untuk melakukan banyak hal yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Rasulullah menggambarkan,  orang ikhlas itu ibaratnya orang beramal dengan tangan kanan, tetapi tangan kirinya tidak tahu. Jadi, sungguh sangat rahasia.
Lantas, bagaimana kalau amalnya dipublikasikan? Tidak masalah sepanjang bisa menjaga hatinya agar tidak ada unsur pamer. Publikasi atau disiarkan dalam rangka memberi contoh berbuat baik bagi orang lain tidak masalah. Ini sah-sah saja.
Maka, orang ikhlas mengetahui bagaimana menjaga hati agar tidak terpeleset melakukan setiap amalan kepada perbuatan pamer. Ini yang selalu dihindari. Pertanyaannya adalah, apakah kita sudah menjadi orang yang ikhlas dengan indikasi tadi? Yang bisa menjawab adalah diri kita masing-masing.
Keempat, tidak menuntut pujian dan tidak terkecoh oleh pujian. Orang ikhlas dalam bekerja –termasuk dalam beribadah—tidak ingin mendapat pujian. Semua dikerjakan semata mencari ridho Allah.
Khalid bin Walid, yang menjadi panglima perang di zaman khalifah Umar bin Khottob selalu membawa kemenangan. Sampai-sampai memunculkan kekaguman luar biasa. Khawatir mengarah pada kultus individu –ini dilarang agama—Umar lantas melengserkannya, diganti penglima perang yang masih sangat muda.
Apa komentar Khalid bin Walid ketika dirinya dilengserkan? “Saya berjuang untuk Allah, bukan untuk Umar,” jawabnya singkat. Artinya, dirinya tidak mempersoalkan pelengseran dirinya sebab apa yang dilakukannya itu bukan untuk Umar, tetapi untuk mencari ridho Allah. Khalid menerima pelengseren dengan hati ikhlas.
Sikap ini keluar dari lubuk hati yang mendalam. Mustahil seseorang menerima pelengseran jika niatnya dalam berjuang untuk mendapat pujian. Ali bin Abi Tholib pernah mengingatkan, bahwa tanda keikhlasan seseorang tampak dari saat mendapat pujian dia tidak banggsa, dan kalau dicemooh tidak sakit hati. Bisakah kita begitu?
Kelima, tidak kikir pujian terhadap orang yang memang layak dipuji. Rasulullah SAW berpesan kepada kita, kalau kita memang mencintai seseorang maka jangan disembunyikan. Katakan kepada dia bahwa Anda memang mencintai (cinta yang bukan terkait dengan birahi).
Dalam kenyataan banyak orang yang kikir memberi pujian kepada orang lain, anak buah, teman, dan sebagainya. Padahal, memuji seseorang itu perlu, asal tidak berlebihan. Dengan pujian itu, dia semakin meningkatkan kebolehannya. Prestasi seseorang lebih meningkat kalau dipuji. Jangan pelit mengucapkan kata hebat, baik, bagus’ atau kata lain yang sejenis kepada orang lain kalau memang layak mendapat pujian.
Orang memuji itu pertanda bahwa dalam dirinya ada perasaan rendah hati sehingga mau mengakui kelebihan orang lain. Berbeda dengan orang sombong, tidak mau mengakui apalagi memuji orang lain. Mengapa tidak mau mengakui kelebihan orang lain? Takut kewibawannya hilang.
Orang yang senang memuji, akan mendapat pujian dari orang lain. Sebaliknya orang yang suka mencela, juga akan mendapat celaaan. Pujian yang diberikan, mampu mendorong semangat orang lain untuk mempertahankan kebaikan yang dilakukan atau meningkatkan kebaikan yang pernah dilakukan.
Keenam, berbuat selayaknya. Artinya, perbuatannya tidak dibuat-buat alias apa adanya. Jika dia sebagai pemimpin, perbuatannya apa adanya. Tidak senang jika kehadirannya disambut dengan acara meriah, apalagi diperlakukan secara istimewa. Misalnya, ketika masuk ruangan hadirin berdiri. Nabi SAW tidak mau masuk ruangan kalau yang hadir berdiri dalam rangka menyambut kedatangannya.
Sikap kesehariannya, tidak mengada-ada. Kalau memang tidak mampu dikatakan tidak mampu dan memberi kesempatan kepada anak buahnya untuk meneruskan pembahasannya agar bisa tuntas. Tanpa rasa malu mengatakan, “Saya tidak menguasai persoalan ini.”
Kalau dia mampu, tidak berlagak sok hebat. Biasa saja, tetap kalem, rendah hati, dan mau menerima masukan dari anak buahnya. Nabi SAW sering dalam rapat-rapat dengan para sahabat mengakui pendapatnya tidak kuat, pendapat orang lain jauh lebih bagus.
Sehebat apa pun kemampuan yang dimiliki seseorang, pasti ada kekurangan dan kelemahan. Maka, dia dengan senang hati menerima masukan dari siapa saja. Sikapnya yang demikian ini, menjadikan orang lain menaruh hormat kepadanya. Sebaliknya orang yang sok hebat, orang lain justru mencibir kepadanya.

No comments:

Post a Comment