Ini guyon. Calon jamaah haji Indonesia, karena capek, begitu
masuk pesawat ber-AC, langsung tertidur lelap, pulas. Begitu pesawat akan
terbang, pramugari membangunkannya.
“Maaf Pak, sabuk pengamannya dipakai. Bahaya Pak, pesawat mau
terbang.” “Oh…iya... ya, untung adik mengingatkan. Kalau tidak bahaya kan? Pesawat ini sudah
terbang tinggi ya. Itu manusia kelihatan kecil seperti semut.”
“Oh… maaf Pak. Pesawat belum terbang. Yang tampak seperti semut itu
bukan manusia, itu memang semut beneran,” jawab pramugari. “Oh…maaf, Dik. Saya kira itu manusia,”
ujarnya.
Penumpang ini mengalami “kesalahan” dalam melihat sesuatu karena
persoalan sudut pandang dari jarak “jauh atau dekat”. Semut dikira manusia
karena merasa melihat dari jauh. Padahal posisinya cukup dekat.
Jauh dan dekat itu relatif. Tergantung bagaimana melihat dan
menyikapinya. Bisa jadi, sesuatu yang dekat dianggap jauh, atau sebaliknya yang
jauh dianggap dekat. Coba kita rasakan alis, hidung, pipi, dan kening itu dekat
tetapi kesannya jauh karena tidak bisa dilihat kecuali menggunakandar cermin.
Ada satu saran agar mengetahui hakikat jauh dan dekat. Yaitu sesekali
tanyakan kepada pengemis. Dia akan merasakan makna jauh dan dekat itu. Lha kok
bisa? Pengemis yang duduk menunggu uluran tangan orang yang keluar-masuk di
depan pintu keluar masuk bank punya kesan mendalam tentang jauh dan dekat.
Secara fisik, uang di bank itu dekat dengan dirinya karena dia bertada di dalam
lingkungan bank tetapi kenyataannya dia merasa jauh dari uang.
Tanyakan kepada copet yang sering nggasak dompet, sandal, dan motor di
halaman masjid. Secara fisik, masjid dekat dengannya, tetapi dalam makna
rokhani, masjid “jauh” dari hatinya.
Begitu pula “shalat” bagi yang tidak khusyuk. Shalat itu berat (jauh
dari hati) bagi seseorang kecuali bagi yang khusyuk. Shalat bukan hanya dekat
sebab diamalkan. Tetapi, pesan shalat terasa jauh dari kehidupan orang yang
tidak khusyuk tadi.
Sesekali tanyakan kepada para ustad, muballigh, dan tokoh agama.
Apakah nilai agama yang diceramahkan itu jauh atau dekat dari dirinya. Ini
penting. Sebab ada kalanya orang beragama hanya di lisannya, di ujung penanga
(bagi pengarang), di baju dan sorbannya, di kopiah, di tasbih, di
penampilannya, dll. Kalau tidak hati-hati nilai agama tidak membekas dalam
amalannya.
Adalah wajar jika dalam realitas sehari-hari, sering kita jumpai
sesuatu yang kontradiksi. Misal, sebuah mosholla dianggap remeh sehingga
membangunnya seadanya saja, kecil di balik megahnya hotel. Ini bukti, di benak
pemilik hotel tidak terlalu dekat Allah.
Di Indonesia, negara yang warganya 100% beragama–-kini ada 6 agama
sejak Khong Hu Chu diakui resmi oleh pemerintah—tetapi kenyataannya pelanggaran
terhadap ajaran agama, hukum, moral, sosial, dan perilaku negatif lain begitu
kuat. Ini berarti nilai agama jauh dari hati pemeluknya.
Mereka baru sadar akan pentingnya agama, setelah mendengar dampak
lebih buruk dari setiap pelanggaran agama. Ada penjelasan dampak berbuat zina di negeri
ini, tahun 2010 nanti, pengidap virus HIV/Aids mencapai 5 juta jiwa. Fantastis.
Ini artinya orang yang menjauh dari agama begitu banyak.
Maka, ada baiknya kita belajar kembali memahami makna “jauh dan dekat”
secara tepat, agar di saat kita dekat dengan kebenaran merasa jauh dari
kebatilan. Atau sebaliknya, di saat kita dekat dengan kebatilan merasa jauh
dari kebenaran. Dus, kita bisa menyikapinya secara benar, tidak seperti
penumpang pesawat yang mengira semut sebagai manusia tadi. (*)

No comments:
Post a Comment