Thursday, October 23, 2014

Dekat dari Allah



Ini guyon. Calon jamaah haji Indonesia, karena capek, begitu masuk pesawat ber-AC, langsung tertidur lelap, pulas. Begitu pesawat akan terbang, pramugari membangunkannya.
“Maaf Pak, sabuk pengamannya dipakai. Bahaya Pak, pesawat mau terbang.” “Oh…iya... ya, untung adik mengingatkan. Kalau tidak bahaya kan? Pesawat ini sudah terbang tinggi ya. Itu manusia kelihatan kecil seperti semut.”
“Oh… maaf Pak. Pesawat belum terbang. Yang tampak seperti semut itu bukan manusia, itu memang semut beneran,” jawab pramugari.  “Oh…maaf, Dik. Saya kira itu manusia,” ujarnya.
Penumpang ini mengalami “kesalahan” dalam melihat sesuatu karena persoalan sudut pandang dari jarak “jauh atau dekat”. Semut dikira manusia karena merasa melihat dari jauh. Padahal posisinya cukup dekat.
Jauh dan dekat itu relatif. Tergantung bagaimana melihat dan menyikapinya. Bisa jadi, sesuatu yang dekat dianggap jauh, atau sebaliknya yang jauh dianggap dekat. Coba kita rasakan alis, hidung, pipi, dan kening itu dekat tetapi kesannya jauh karena tidak bisa dilihat kecuali menggunakandar cermin.
Ada satu saran agar mengetahui hakikat jauh dan dekat. Yaitu sesekali tanyakan kepada pengemis. Dia akan merasakan makna jauh dan dekat itu. Lha kok bisa? Pengemis yang duduk menunggu uluran tangan orang yang keluar-masuk di depan pintu keluar masuk bank punya kesan mendalam tentang jauh dan dekat. Secara fisik, uang di bank itu dekat dengan dirinya karena dia bertada di dalam lingkungan bank tetapi kenyataannya dia merasa jauh dari uang.
Tanyakan kepada copet yang sering nggasak dompet, sandal, dan motor di halaman masjid. Secara fisik, masjid dekat dengannya, tetapi dalam makna rokhani, masjid “jauh” dari hatinya.
Begitu pula “shalat” bagi yang tidak khusyuk. Shalat itu berat (jauh dari hati) bagi seseorang kecuali bagi yang khusyuk. Shalat bukan hanya dekat sebab diamalkan. Tetapi, pesan shalat terasa jauh dari kehidupan orang yang tidak khusyuk tadi.
Sesekali tanyakan kepada para ustad, muballigh, dan tokoh agama. Apakah nilai agama yang diceramahkan itu jauh atau dekat dari dirinya. Ini penting. Sebab ada kalanya orang beragama hanya di lisannya, di ujung penanga (bagi pengarang), di baju dan sorbannya, di kopiah, di tasbih, di penampilannya, dll. Kalau tidak hati-hati nilai agama tidak membekas dalam amalannya.
Adalah wajar jika dalam realitas sehari-hari, sering kita jumpai sesuatu yang kontradiksi. Misal, sebuah mosholla dianggap remeh sehingga membangunnya seadanya saja, kecil di balik megahnya hotel. Ini bukti, di benak pemilik hotel tidak terlalu dekat Allah. 
Di Indonesia, negara yang warganya 100% beragama–-kini ada 6 agama sejak Khong Hu Chu diakui resmi oleh pemerintah—tetapi kenyataannya pelanggaran terhadap ajaran agama, hukum, moral, sosial, dan perilaku negatif lain begitu kuat. Ini berarti nilai agama jauh dari hati pemeluknya.
Mereka baru sadar akan pentingnya agama, setelah mendengar dampak lebih buruk dari setiap pelanggaran agama. Ada penjelasan dampak berbuat zina di negeri ini, tahun 2010 nanti, pengidap virus HIV/Aids mencapai 5 juta jiwa. Fantastis. Ini artinya orang yang menjauh dari agama begitu banyak.
Maka, ada baiknya kita belajar kembali memahami makna “jauh dan dekat” secara tepat, agar di saat kita dekat dengan kebenaran merasa jauh dari kebatilan. Atau sebaliknya, di saat kita dekat dengan kebatilan merasa jauh dari kebenaran. Dus, kita bisa menyikapinya secara benar, tidak seperti penumpang pesawat yang mengira semut sebagai manusia tadi. (*)

No comments:

Post a Comment