Ada kebiasaan bangsa Iran
yang amat baik. Warga di sana
kalau sedang bersedih, datang ke box (kotak) yang disediakan pemerintah di
tempat-tempat strategis untuk beramal. Jadi, kalau warga sedang bersedih, untuk
“menebusnya” mereka berinfak. Hasilnya lumayan banyak, dalam satu tahun
mencapai milyaran dolar Amerika. Uang iitu digunakan untuk membantu bangsa
lain.
Dengan cara ini muncul kebiasaan, kalau bersedih tidak mengeluh,
cemas, apalagi menggerutu. Semua dikembalikan kepada Allah. Kebiasaan ini
hebat, saat bersedih justru mendekat kepada Allah dengan cara berinfak.
Di Indonesia adakah orang yang seperti warga Iran? Ada,
tetapi jumlahnya sekuku hitam. Belum menjadi kebiasaan seperti di Iran.
Kapan bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam ini meniru orang Iran? Jika bisa begitu alangkah
indahnya.
Suatu ketika, penulis menjenguk seorang tokoh yang berbaring di atas
ranjang di suatu kamar di rumah sakit. Setelah berbincang tentang penyakit dan
kesehatannya, penulis pamit. Betapa kagetnya, karena tokoh tadi mengeluarkan
dompetnya lantas titip uang. “Ini berikan kepada panitia pembangunan masjid,”
ujarnya.
Semestinya, yang menjenguk yang memberi uang, meski hal itu sudah
dilakukan. Tetapi terasa tidak lazim kalau yang sakit justru mengulurkan
tangan, memberi bantuan. Tokoh tadi –kini sudah almarhum— memberi argumentasi,
” Saya ingin membuktikan ayat al-Quran yang menyatakan, tanda orang bertaqwa
antara lain mau menginfakkan hartanya di saat sempat maupun sempit,” jawabnya.
Kebiasaan bangsa kita masih jauh dibanding orang Iran. Kebiasaan bangsa kita kalau
sedih, biasanya justru menarik diri dari kebaikan, malas ibadah, ada yang
berbuat nekat misalnya mencuri, ada yang stress, depresi, bahkan bunuh diri.
Begitu juga para pemimpinnya, kalau bersedih karena goncangan bencana alam,
atau persoalan politik yang carut marut, mereka bukannya beramal seperti warga Iran, tetapi
keliling ke berbagai bangsa lain untuk mencari pinjaman uang.
Setelah hutang didapat –dengan embel-embel bunga-- biasanya seperti
“pahlawan” memberi pernyataan pers. Dengan rasa bangga mengatakan, bangsa kita
dipercaya negeri ini dan itu sehingga dipinjami uang besarnya sekian…. Dia
lupa, uang pinjaman itu “menjerat” leher bangsa ini karena yang harus dibayar
begitu besar. Setelah tidak mampu baru merengek minta direskeduling.
Sering terbayang, andai pemimpin kita tidak punya “hobi” pinjam uang,
dengan sedikit bersabar dan menahan diri, bangsa ini pelan tapi pasti dapat
keluar dari jerat hutang. Apalagi jika meniru warga Iran, saat bersedih justru
berinfak, hal itu mempercepat bangsa ini keluar dari kesulitan.
Dulu, ketika Indonesia
dilanda krismon, Pak Harto menghimbau semua pihak mengamalkan sebagian
hartanya. KH Zainuddin MZ ikut menggalakkan himbauan itu. Tapi gaungnya tidak
seberapa. Banyak warga yang was-was, jangan-jangan amal yang diberikan dikelola
secara tidak transparan dan pertanggungjawabannya tidak jelas. Kekhawatiran itu
wajar, sebab bangsa kita belum sepenuhnya percaya pada pemimpinnya yang masih
kuat pola hidup korup-nya.
Selain persoalan trust (kepercayaan) bangsa ini kepada
pemimpinnya relatif labil, juga kemauan beramal rendah. Sejak dulu, banyak
tokoh “berandai-andai”, andaikan setiap orang berinfak Rp 1.000 perminggu, maka akan terkumpul ratusan miliar
bahkan triliunan. Kenyatannya, itu hanya ada di dalam teori.
Dengan kata lain, hal itu hanya ada di atas kertas, bukan ada pada
realitas. Sampai sekarang belum ada pengelolaan infak secara nasional yang
teroganisir. Yang ada pengelolaannya parsial sehingga potensi umat tidak tergali maksimal. Konon
umat Islam masih “berat” untuk berinfak. Padahal, ayatnya sudah jelas, tanda
orang bertaqwa antara lain, suka berinfak baik dalam keadaan sempat maupun
sempit. Tampaknya ayat ini masih dalam batas wacana.
Berbeda dengan bangsa Iran.
Bagi mereka berinfak menjadi pola hidup. Bagi orang yang berinfak Allah berjanji melipatgandakan
balasan. Ditegaskan, setiap infak dilipatgandakan 700 kali. Ketika ada
persoalan, sebaiknya meniru warga Iran,
mengeluarkan harta di jalan Allah. Jika kita tengah bersedih lantas
mengeluarkan infak, maka Allah mengganti kesedihan dengan kebahagiaan dan rasa
tenang. Jangan-jangan munculnya bencana alam di mana-mana penyebabnya adalah
karena bangsa ini banyak yang malas berinfak.
Infak belum menjadi hobi. Justru sebaliknya, bangsa ini masih suka
menengadahkan tangan pada bangsa atau orang lain. Coba kita lihat, kalau ada
rencana membangun sesuatu, panitia “fasih” menyusun proposal ke berbagai pihak.
Yah… mungkin kemampuannya baru sampai di situ.
Maraknya “ahli” proposal merupakan reaksi balik atas sikap pemerintah
yang sering “memanfaatkan” uang negara untuk kepentingan pribadi. Jangan
salahkan warga kalau suka menodongkan proposal, karena beranggapan, jika uang
rakyat tidak diminta, habis dipakai bancaan. Untuk melatih agar masyarakat
lebih mandiri, pejabat harus responsif terhadap kemauan rakyat. Tanpa menunggu
proposal segera dibantu agar mereka tidak merengek-rengek. (*)

No comments:
Post a Comment