Thursday, October 23, 2014

Berinfak di Saat Sedih



Ada kebiasaan bangsa Iran yang amat baik. Warga di sana kalau sedang bersedih, datang ke box (kotak) yang disediakan pemerintah di tempat-tempat strategis untuk beramal. Jadi, kalau warga sedang bersedih, untuk “menebusnya” mereka berinfak. Hasilnya lumayan banyak, dalam satu tahun mencapai milyaran dolar Amerika. Uang iitu digunakan untuk membantu bangsa lain.
Dengan cara ini muncul kebiasaan, kalau bersedih tidak mengeluh, cemas, apalagi menggerutu. Semua dikembalikan kepada Allah. Kebiasaan ini hebat, saat bersedih justru mendekat kepada Allah dengan cara berinfak.
Di Indonesia adakah orang yang seperti warga Iran? Ada,  tetapi jumlahnya sekuku hitam. Belum menjadi kebiasaan seperti di Iran. Kapan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam ini meniru orang Iran? Jika bisa begitu alangkah indahnya.
Suatu ketika, penulis menjenguk seorang tokoh yang berbaring di atas ranjang di suatu kamar di rumah sakit. Setelah berbincang tentang penyakit dan kesehatannya, penulis pamit. Betapa kagetnya, karena tokoh tadi mengeluarkan dompetnya lantas titip uang. “Ini berikan kepada panitia pembangunan masjid,” ujarnya.
Semestinya, yang menjenguk yang memberi uang, meski hal itu sudah dilakukan. Tetapi terasa tidak lazim kalau yang sakit justru mengulurkan tangan, memberi bantuan. Tokoh tadi –kini sudah almarhum— memberi argumentasi, ” Saya ingin membuktikan ayat al-Quran yang menyatakan, tanda orang bertaqwa antara lain mau menginfakkan hartanya di saat sempat maupun sempit,” jawabnya.
Kebiasaan bangsa kita masih jauh dibanding orang Iran. Kebiasaan bangsa kita kalau sedih, biasanya justru menarik diri dari kebaikan, malas ibadah, ada yang berbuat nekat misalnya mencuri, ada yang stress, depresi, bahkan bunuh diri. Begitu juga para pemimpinnya, kalau bersedih karena goncangan bencana alam, atau persoalan politik yang carut marut, mereka bukannya beramal seperti warga Iran, tetapi keliling ke berbagai bangsa lain untuk mencari pinjaman uang.
Setelah hutang didapat –dengan embel-embel bunga-- biasanya seperti “pahlawan” memberi pernyataan pers. Dengan rasa bangga mengatakan, bangsa kita dipercaya negeri ini dan itu sehingga dipinjami uang besarnya sekian…. Dia lupa, uang pinjaman itu “menjerat” leher bangsa ini karena yang harus dibayar begitu besar. Setelah tidak mampu baru merengek minta direskeduling.
Sering terbayang, andai pemimpin kita tidak punya “hobi” pinjam uang, dengan sedikit bersabar dan menahan diri, bangsa ini pelan tapi pasti dapat keluar dari jerat hutang. Apalagi jika meniru warga Iran, saat bersedih justru berinfak, hal itu mempercepat bangsa ini keluar dari kesulitan.
Dulu, ketika Indonesia dilanda krismon, Pak Harto menghimbau semua pihak mengamalkan sebagian hartanya. KH Zainuddin MZ ikut menggalakkan himbauan itu. Tapi gaungnya tidak seberapa. Banyak warga yang was-was, jangan-jangan amal yang diberikan dikelola secara tidak transparan dan pertanggungjawabannya tidak jelas. Kekhawatiran itu wajar, sebab bangsa kita belum sepenuhnya percaya pada pemimpinnya yang masih kuat pola hidup korup-nya.
Selain persoalan trust (kepercayaan) bangsa ini kepada pemimpinnya relatif labil, juga kemauan beramal rendah. Sejak dulu, banyak tokoh “berandai-andai”, andaikan setiap orang berinfak Rp 1.000  perminggu, maka akan terkumpul ratusan miliar bahkan triliunan. Kenyatannya, itu hanya ada di dalam teori.
Dengan kata lain, hal itu hanya ada di atas kertas, bukan ada pada realitas. Sampai sekarang belum ada pengelolaan infak secara nasional yang teroganisir. Yang ada pengelolaannya parsial sehingga  potensi umat tidak tergali maksimal. Konon umat Islam masih “berat” untuk berinfak. Padahal, ayatnya sudah jelas, tanda orang bertaqwa antara lain, suka berinfak baik dalam keadaan sempat maupun sempit. Tampaknya ayat ini masih dalam batas wacana.
Berbeda dengan bangsa Iran. Bagi mereka berinfak menjadi pola hidup. Bagi orang  yang berinfak Allah berjanji melipatgandakan balasan. Ditegaskan, setiap infak dilipatgandakan 700 kali. Ketika ada persoalan, sebaiknya meniru  warga Iran, mengeluarkan harta di jalan Allah. Jika kita tengah bersedih lantas mengeluarkan infak, maka Allah mengganti kesedihan dengan kebahagiaan dan rasa tenang. Jangan-jangan munculnya bencana alam di mana-mana penyebabnya adalah karena bangsa ini banyak yang malas berinfak.
Infak belum menjadi hobi. Justru sebaliknya, bangsa ini masih suka menengadahkan tangan pada bangsa atau orang lain. Coba kita lihat, kalau ada rencana membangun sesuatu, panitia “fasih” menyusun proposal ke berbagai pihak. Yah… mungkin kemampuannya baru sampai di situ.
Maraknya “ahli” proposal merupakan reaksi balik atas sikap pemerintah yang sering “memanfaatkan” uang negara untuk kepentingan pribadi. Jangan salahkan warga kalau suka menodongkan proposal, karena beranggapan, jika uang rakyat tidak diminta, habis dipakai bancaan. Untuk melatih agar masyarakat lebih mandiri, pejabat harus responsif terhadap kemauan rakyat. Tanpa menunggu proposal segera dibantu agar mereka tidak merengek-rengek.  (*)

No comments:

Post a Comment