Siang itu, SMS masuk. Isinya “unik” dan menarik. Lengkapnya berbunyi,
“Di bawah telapak kakinya terhampar surga kita. Tak ada satu kitab suci pun
yang tidak menghargai keagungan seorang ibu, namun kesibukan pribadi sering
kali merentang jarak keakraban dan cinta kita dengan ibu. Tanggal 22 Desember
yang lalu adalah miliknya. Beri makna hari itu, kecup pipinya agar dia tertawa,
kirim doa bila sudah tiada. Seorang Nabi bersabda, “Surga itu berada di bawah
telapak kaki ibu.”
Usai membaca kalimat ini, saya menghela nafas dalam-dalam. Kata-kanya
penuh makna. Rangkaian kata yang tersusun menjadi kalimat menimbulkan “getaran”
jiwa. Hari ibu merupakan momentum penting untuk melakukan refleksi diri.
Layakkah mengaku sebagai anak yang baik?
Ibu adalah makhluk Tuhan yang memiliki “kemenangan”. Menang karena
mengandung, melahirkan, dan mendidik anaknya. Menang karena dia yang menuntun
dan mengantar perjalanan hidup dengan doa, keringat, dan tenaga. Dari lisannya
mengucur doa dan tangis untuk anaknya. Tetapi, sayang semua tak terbalas. Kasih
anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan. Tak sebanding.
Ingatlah ketika jemari ibu membelai tubuh kita yang penuh dosa.
Tatapan matanya penuh kasih sayang menemani tidur anaknya. Dia rela melepas
selimutnya karena melihat anaknya tidur kedinginan. Sayang sang anak sering
lupa walau hanya untuk sebuah doa baginya. Alangkah baiknya jika dipersembahkan
amal baik kepadanya sebagai pengabdian diri.
***
Di waktu lain, ada kenangan berupa kiriman CD dari seorang teman.
Isinya berupa dialog yang melukiskan dialog calon bayi dengan Tuhan sebagai
berikut.
Suatu ketika, seorang bayi siap untuk diturunkan ke dunia. Menjelang
diturunkan dia bertanya kepada Tuhan, “Para malaikat di sini menyatakan besok
Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara saya hidup di sana, saya
begitu kecil dan lemah,” kata si bayi.
Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu. Dia akan
menjaga dan mangisihimu.”
“Tapi, di surga yang saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa. Ini
cukup bagi saya untuk bahagia,” demikian si bayi.
Tuhan pun menjawab, ”Malaikatmu juga akan bernyangi dan tersenyum
untukmu setiap hari. Kamu akan merasakan kehangatan cintanya untuk menjadi
lebih bahagia.”
Si bayi pun kembali bertanya, “Dan apa yang dapat saya lakukan saat
aku ingin berbicara dengan-Mu?
Sekali lagi, Tuhan menjawab, ”Malaikatmu akan mengajarkan kepadamu
bagaimana cara kamu berdoa.”
Si bayi pun masih belum puas. Dia bertanya, ”Saya mendengar di bumi
banyak orang jahat. Siapa yang akan melindungiku?”
Tuhan dengan penuh kesabaran menjawab,” Malaikatmu akan melindungimu
walau dengan taruhan jiwanya sekali pun.”
Si bayi pun tetap belum puas, dia melanjutkan pertanyaan,”Tapi saya
akan bersedih karena tidak bisa melihat Engkau lagi.”
Tuhan pun menjawab, “Malaikatmu akan menceritakan tentang Aku dan
mengajarkan kepadamu bagaimana agar bisa kembali kepada-Ku walau Aku selalu di
sisimu”
Saat itu suara surga begitu terangnya sehingga suara dari bumi
terdengar begitu terang. Si anak dengan suara lirih berkata, “Tuhan, kalau aku
harus pergi sekarang, bisakah Engkau menunjukkan siapakah malaikatmu yang ada
di rumahku nanti?” Tuhan menjawab, “Kamu bisa memanggil malaikatmu itu …ibu….”
***
CD itu –isinya agak panjang—tetapi, tidak saya kutip semua. CD itu
pernah diperlihatkan kepada sejumlah guru. Sebelum melihat isinya, saya minta
mereka membaca basmalah. Setelah membaca tulisan lengkap dengan gambar ilustrasi
pelan-pelan saya beri tissue di dekat komputer, tempat menayangkan CD. Satu
demi satu teman yang membacanya larut dalam perasaannya. Tissue kering itu
dipegangnya, lambat laun diusapkan ke pipinya, lalu tissu pun basah….
Salah seorang berkomentar, ”Bisakah saya menjadi malaikat seperti para
ibu yang begitu baik?” Yang lain sambil menangis mengatakan, “ Betapa dholimnya
saya kepada ibu, selama ini tidak pernah berterima kasih atas jasanya.” Yang lain, tiba-tiba pamit keluar ruangan
sambil menangis, malu. Malu pada dirinya sendiri.
Kita perlu berpikir jernih, dalam bergaul dengan ibu, kita “gugat”
sendiri peran dan fungsi kita. Sebagaimana dua sisi mata uang, kita berstatus
sebagai anak, di bagian lain, sebagai orang tua (ibu/bapak). Apa yang dilakukan
dalam dua peran tersebut?
Sebagai anak, pernahkah berbuat maksimal kepada ibu? Misalnya,
mendoakan, menyenangkan hatinya, membantu jiwa dan raganya, selalu datang
dengan berita menyenangkan, atau kita “angkat” mereka sebagai “malaikat” dalam
hidup, perlakukan sebagai makhluk suci yang tidak berbuat salah kepada
anak-anaknya. Adakah perasaan, dan keinginan untuk menjadikan ibu sebagai
sahabat yang paling baik dalam hidup ini? Pernahkah meminta doa kepadanya agar
diberi selamat dalam hidup ini.
begitulah sikap dalam posisi sebagai anak.
Kalau berposisi sebagai orang tua, bisakah memerankan diri sebagai
“malaikat” bagi anak untuk selalu mengajarinya mengenal Tuhan? Ceritakan Tuhan yang telah menciptakan alam
semesta agar mencintainya. Sebagai orang tua janganlah membuat “neraka” di
rumah dengan pertengkaran yang tidak ada ujung pangkalnya. Jangan jadikan rumah
kita sebagai neraka bagi anak-anak.
Sinarilah rumahmu dengan shalat dan bacaan Al-Quran, pesan Nabi SAW.
Sudahkah itu menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari? Kalau belum, jangan
berharap anak kita menjadi anak baik.
Anggap wajar mereka tidak berbudi, dan jauh dari agama kalau orang
tuanya yang semestinya menuntun mereka dekat kepada Tuhan justru memberi contoh
berbuat sesuatu yang menjauh dari Tuhan. (*)

No comments:
Post a Comment