Thursday, October 23, 2014

Menghargai Jasa Ibu



Siang itu, SMS masuk. Isinya “unik” dan menarik. Lengkapnya berbunyi, “Di bawah telapak kakinya terhampar surga kita. Tak ada satu kitab suci pun yang tidak menghargai keagungan seorang ibu, namun kesibukan pribadi sering kali merentang jarak keakraban dan cinta kita dengan ibu. Tanggal 22 Desember yang lalu adalah miliknya. Beri makna hari itu, kecup pipinya agar dia tertawa, kirim doa bila sudah tiada. Seorang Nabi bersabda, “Surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.”
Usai membaca kalimat ini, saya menghela nafas dalam-dalam. Kata-kanya penuh makna. Rangkaian kata yang tersusun menjadi kalimat menimbulkan “getaran” jiwa. Hari ibu merupakan momentum penting untuk melakukan refleksi diri. Layakkah mengaku sebagai anak yang baik? 
Ibu adalah makhluk Tuhan yang memiliki “kemenangan”. Menang karena mengandung, melahirkan, dan mendidik anaknya. Menang karena dia yang menuntun dan mengantar perjalanan hidup dengan doa, keringat, dan tenaga. Dari lisannya mengucur doa dan tangis untuk anaknya. Tetapi, sayang semua tak terbalas. Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan. Tak sebanding.
Ingatlah ketika jemari ibu membelai tubuh kita yang penuh dosa. Tatapan matanya penuh kasih sayang menemani tidur anaknya. Dia rela melepas selimutnya karena melihat anaknya tidur kedinginan. Sayang sang anak sering lupa walau hanya untuk sebuah doa baginya. Alangkah baiknya jika dipersembahkan amal baik kepadanya sebagai pengabdian diri.

***
Di waktu lain, ada kenangan berupa kiriman CD dari seorang teman. Isinya berupa dialog yang melukiskan dialog calon bayi dengan Tuhan sebagai berikut.
Suatu ketika, seorang bayi siap untuk diturunkan ke dunia. Menjelang diturunkan dia bertanya kepada Tuhan, “Para malaikat di sini menyatakan besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara saya hidup di sana, saya begitu kecil dan lemah,” kata si bayi.
Tuhan menjawab, “Aku telah memilih satu malaikat untukmu. Dia akan menjaga dan mangisihimu.”
“Tapi, di surga yang saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa. Ini cukup bagi saya untuk bahagia,” demikian si bayi.
Tuhan pun menjawab, ”Malaikatmu juga akan bernyangi dan tersenyum untukmu setiap hari. Kamu akan merasakan kehangatan cintanya untuk menjadi lebih bahagia.”
Si bayi pun kembali bertanya, “Dan apa yang dapat saya lakukan saat aku ingin berbicara dengan-Mu?
Sekali lagi, Tuhan menjawab, ”Malaikatmu akan mengajarkan kepadamu bagaimana cara kamu berdoa.”
Si bayi pun masih belum puas. Dia bertanya, ”Saya mendengar di bumi banyak orang jahat. Siapa yang akan melindungiku?”
Tuhan dengan penuh kesabaran menjawab,” Malaikatmu akan melindungimu walau dengan taruhan jiwanya sekali pun.”
Si bayi pun tetap belum puas, dia melanjutkan pertanyaan,”Tapi saya akan bersedih karena tidak bisa melihat Engkau lagi.”
Tuhan pun menjawab, “Malaikatmu akan menceritakan tentang Aku dan mengajarkan kepadamu bagaimana agar bisa kembali kepada-Ku walau Aku selalu di sisimu”
Saat itu suara surga begitu terangnya sehingga suara dari bumi terdengar begitu terang. Si anak dengan suara lirih berkata, “Tuhan, kalau aku harus pergi sekarang, bisakah Engkau menunjukkan siapakah malaikatmu yang ada di rumahku nanti?” Tuhan menjawab, “Kamu bisa memanggil malaikatmu itu …ibu….”

***
CD itu –isinya agak panjang—tetapi, tidak saya kutip semua. CD itu pernah diperlihatkan kepada sejumlah guru. Sebelum melihat isinya, saya minta mereka membaca basmalah. Setelah membaca tulisan lengkap dengan gambar ilustrasi pelan-pelan saya beri tissue di dekat komputer, tempat menayangkan CD. Satu demi satu teman yang membacanya larut dalam perasaannya. Tissue kering itu dipegangnya, lambat laun diusapkan ke pipinya, lalu tissu pun basah….
Salah seorang berkomentar, ”Bisakah saya menjadi malaikat seperti para ibu yang begitu baik?” Yang lain sambil menangis mengatakan, “ Betapa dholimnya saya kepada ibu, selama ini tidak pernah berterima kasih atas jasanya.”  Yang lain, tiba-tiba pamit keluar ruangan sambil menangis, malu. Malu pada dirinya sendiri.
Kita perlu berpikir jernih, dalam bergaul dengan ibu, kita “gugat” sendiri peran dan fungsi kita. Sebagaimana dua sisi mata uang, kita berstatus sebagai anak, di bagian lain, sebagai orang tua (ibu/bapak). Apa yang dilakukan dalam dua peran tersebut?
Sebagai anak, pernahkah berbuat maksimal kepada ibu? Misalnya, mendoakan, menyenangkan hatinya, membantu jiwa dan raganya, selalu datang dengan berita menyenangkan, atau kita “angkat” mereka sebagai “malaikat” dalam hidup, perlakukan sebagai makhluk suci yang tidak berbuat salah kepada anak-anaknya. Adakah perasaan, dan keinginan untuk menjadikan ibu sebagai sahabat yang paling baik dalam hidup ini? Pernahkah meminta doa kepadanya agar diberi selamat dalam hidup ini.  begitulah sikap dalam posisi sebagai anak.
Kalau berposisi sebagai orang tua, bisakah memerankan diri sebagai “malaikat” bagi anak untuk selalu mengajarinya mengenal Tuhan?  Ceritakan Tuhan yang telah menciptakan alam semesta agar mencintainya. Sebagai orang tua janganlah membuat “neraka” di rumah dengan pertengkaran yang tidak ada ujung pangkalnya. Jangan jadikan rumah kita sebagai neraka bagi anak-anak.
Sinarilah rumahmu dengan shalat dan bacaan Al-Quran, pesan Nabi SAW. Sudahkah itu menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari? Kalau belum, jangan berharap anak kita menjadi anak baik.
Anggap wajar mereka tidak berbudi, dan jauh dari agama kalau orang tuanya yang semestinya menuntun mereka dekat kepada Tuhan justru memberi contoh berbuat sesuatu yang menjauh dari Tuhan. (*)

No comments:

Post a Comment