Dialog dengan Allah merupakaan sebuah kebutuhan rokhani. Seperti
halnya dalam pergaulan sehari-hari, kita selalu membutuhkan teman untuk “curhat”. Siapa pun orangnya merasa ringan beban
hidupnya kalau persoalan, uneg-uneg yang bergejolak di benaknya dapat
ditumpahkan kepada teman yang dipercaya.
Fungsi teman begitu penting. Sampai-sampai untuk mendapatkan teman
yang baik -- yang mau mendengar suara hati kita-- harganya sangat mahal. Acap
kali harus datang ke tempat yang jauh di sana
sekadar untuk menemui teman yang kita rindu. Teman yang baik adalah belahan
jiwa.
Begitu juga dengan rokhani kita, selalu butuh “teman” untuk berdialog
tentang berbagai hal. Mulai dari yang ringan sampai ke hal yang berat. Mulai
dari sekedar mengungkapkan kerinduan sampai meminta pertolongan yang rumit.
Mulai dari sekedar menyebut nama-Nya, sampai berupaya “merayu” agar kesalahan
dihapuskan. Dia adalah Allah, yang selalu kita rindu, tempat curhat semua
persoalan.
Bagi mereka yang tidak mendapatkan atau tidak mengenal petunjuk Ilahi,
berbagai cara aneh yang ditempuh untuk “bertemu” dengan kekuatan yang dianggap
Tuhan. Ada yang
menyepi berbulan-bulan di kuburan, di hutan, di tepi laut, di gua, dan tempat
lain. Di sana
ada perasaan yang dapat menemukan jawaban atas galau hatinya. Setidaknya ada
ketenangan batin.
Orang beriman, temannya jelas. Untuk berdialog, “temannya” sangat
dekat, bahkan lebih dekat dari urat lehernya. Allah yang memberi informasi
begitu. Dalam hadits qudsi yang diriwiyatkan Ubay bin Ka’ab RA, Nabi SAW
bersabda, bahwa Allah berfiman, “Hai anak Adam, Aku telah menurunkan tujuh ayat
dalam Al-Quran, tiga ayat di antaranya untuk-Ku, tiga ayat untukmu, dan satu
antara Aku dan engkau.” Yang Allah maksud tersebut tertera dalam Surat
Al-Fatihah.
Tiga ayat untuk Allah adalah, Alhamdu
lillahi rabbil ‘alamin. Arrahmaanirrahim. Maaliki yaumiddin. (Segala puji
bagi Allah yang menciptakan alam semesta, Maha Pemurah lagi Pengasih. Yang
memiliki hari pembalasan).
Ada pun satu ayat diantara-Ku denganmu: Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’iin (Hanya
kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Kepada-Mu
manusia beribadah dan Engkau yang menolong. Ada pun yang milik manusia, yaitu Ihdinasshiraatal mustaqiim. Shiraatalladziina
an’amta ‘alaihim. Ghairil magh’dhuubi ‘alaihim waladh dhaoliin (Pimpinlah
kami ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat kepada
mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang
sesat (HR. Attabrani di dalam Mu’jam al-aushath).
Di hadits lain Allah menjelaskan, ketika manusia membaca, Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin, Aku
menjawab, “Hamba-Ku tengah memuji-Ku.”
Ketika manusia membaca, Arrahmaanirrahiim,
Aku mengatakan, “Hamba-Ku mengakui sifat-Ku.”
Ketika manusia membaca, Maaliki
yaumiddin, Aku menjawab, “Hamba-Ku mengakui kekuasaan-Ku.”’
Ketika hamba-Ku membaca, Iyyaaka
na’budu waiyyaaka nasta’iin, Aku mengatakan, “HambaKu sedang menyatakan
sesembahannya kepad-Ku dan meminta pertolongan kepada-Ku.” Ketika manusia membaca, Ihdinash shiraatal mustaqiim. Shiraatalladziina an’amta ‘alaihim.
Ghoiril magdhuubi ‘alaihim waladdhoaliin. Aku mengatakan, “Hamba-Ku sedang meminta sesuatu kepada-Ku.
Maka, permintaanya Kukabulkan. “
Begitu dialog Allah dengan kita sebagai hamba. Syahdu, dekat, dan
menyentuh hati. Alangkah indahnya, ketika kita membaca ayat tersebut disertai
dengan penghayatan mendalam agar apa yang kita sampaikan benar-benar dikabulkan
Allah SWT. Allah berjanji akan mengabulkan permintaan kita sebagaimana yang
tertuang dalam surat
al-Fatihah tersebut.

No comments:
Post a Comment