Wednesday, October 22, 2014

Perlunya Dialog dengan Allah



Dialog dengan Allah merupakaan sebuah kebutuhan rokhani. Seperti halnya dalam pergaulan sehari-hari, kita selalu membutuhkan teman untuk “curhat”.  Siapa pun orangnya merasa ringan beban hidupnya kalau persoalan, uneg-uneg yang bergejolak di benaknya dapat ditumpahkan kepada teman yang dipercaya.
Fungsi teman begitu penting. Sampai-sampai untuk mendapatkan teman yang baik -- yang mau mendengar suara hati kita-- harganya sangat mahal. Acap kali harus datang ke tempat yang jauh di sana sekadar untuk menemui teman yang kita rindu. Teman yang baik adalah belahan jiwa.
Begitu juga dengan rokhani kita, selalu butuh “teman” untuk berdialog tentang berbagai hal. Mulai dari yang ringan sampai ke hal yang berat. Mulai dari sekedar mengungkapkan kerinduan sampai meminta pertolongan yang rumit. Mulai dari sekedar menyebut nama-Nya, sampai berupaya “merayu” agar kesalahan dihapuskan. Dia adalah Allah, yang selalu kita rindu, tempat curhat semua persoalan.
Bagi mereka yang tidak mendapatkan atau tidak mengenal petunjuk Ilahi, berbagai cara aneh yang ditempuh untuk “bertemu” dengan kekuatan yang dianggap Tuhan. Ada yang menyepi berbulan-bulan di kuburan, di hutan, di tepi laut, di gua, dan tempat lain. Di sana ada perasaan yang dapat menemukan jawaban atas galau hatinya. Setidaknya ada ketenangan batin.
Orang beriman, temannya jelas. Untuk berdialog, “temannya” sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat lehernya. Allah yang memberi informasi begitu. Dalam hadits qudsi yang diriwiyatkan Ubay bin Ka’ab RA, Nabi SAW bersabda, bahwa Allah berfiman, “Hai anak Adam, Aku telah menurunkan tujuh ayat dalam Al-Quran, tiga ayat di antaranya untuk-Ku, tiga ayat untukmu, dan satu antara Aku dan engkau.” Yang Allah maksud tersebut tertera dalam Surat Al-Fatihah.
Tiga ayat untuk Allah adalah, Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin. Arrahmaanirrahim. Maaliki yaumiddin. (Segala puji bagi Allah yang menciptakan alam semesta, Maha Pemurah lagi Pengasih. Yang memiliki hari pembalasan).
Ada pun satu ayat diantara-Ku denganmu: Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’iin (Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Kepada-Mu manusia beribadah dan Engkau yang menolong. Ada pun yang milik manusia, yaitu Ihdinasshiraatal mustaqiim. Shiraatalladziina an’amta ‘alaihim. Ghairil magh’dhuubi ‘alaihim waladh dhaoliin (Pimpinlah kami ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat (HR. Attabrani di dalam Mu’jam al-aushath).
Di hadits lain Allah menjelaskan, ketika manusia membaca, Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin, Aku menjawab, “Hamba-Ku tengah memuji-Ku.”  Ketika manusia membaca, Arrahmaanirrahiim, Aku mengatakan, “Hamba-Ku mengakui sifat-Ku.”  Ketika manusia membaca, Maaliki yaumiddin, Aku menjawab, “Hamba-Ku mengakui kekuasaan-Ku.”’
Ketika hamba-Ku membaca, Iyyaaka na’budu waiyyaaka nasta’iin, Aku mengatakan, “HambaKu sedang menyatakan sesembahannya kepad-Ku dan meminta pertolongan kepada-Ku.”  Ketika manusia membaca, Ihdinash shiraatal mustaqiim. Shiraatalladziina an’amta ‘alaihim. Ghoiril magdhuubi ‘alaihim waladdhoaliin. Aku mengatakan,  “Hamba-Ku sedang meminta sesuatu kepada-Ku. Maka, permintaanya Kukabulkan. “
Begitu dialog Allah dengan kita sebagai hamba. Syahdu, dekat, dan menyentuh hati. Alangkah indahnya, ketika kita membaca ayat tersebut disertai dengan penghayatan mendalam agar apa yang kita sampaikan benar-benar dikabulkan Allah SWT. Allah berjanji akan mengabulkan permintaan kita sebagaimana yang tertuang dalam surat al-Fatihah tersebut.

No comments:

Post a Comment