Kita, ya bangsa Indonesia
ini, perlu belajar bersikap arif. Presiden SBY memberi contoh akan hal itu.
Sikapnya yang bijak sering diperlihatkan kepada publik. Meski banyak hujatan,
demo, malah ada gerakan 15 Januari 2007 yang bertajuk “Cabut Mandat SBY-JK”,
presiden tetap tenang, tidak reaktif.
Reaksi yang tidak reaktif disampaikan presiden saat bertemu pengurus
Partai Bintang Remormasi (PBR). Presiden mengutip ucapan salah seorang pengurus
PBR yang mengatakan, bahwa bupati itu masa jabatannya lima tahun, maka tidak boleh setiap tahun
diturunkan. Cuma begitu.
Kalimat tersebut bisa dibaca, bahwa bukan hanya bupati yang masa
jabatannya lima
tahun dan tidak boleh diturunkan di tengah jalan. Jabatan gubernur dan presiden
sama, lima
tahun. Maka, jangan sampai dalam perjalanan diturunkan.
Reaksi yang santun seperti ini, memberi keteduhan terhadap bangsa ini.
Bisa dibayangkan, seandainya SBY lantas berkoar-koar dengan kalimat yang emosional,
maka di kalangan akar rumput akan terjadi aksi saling membenci satu dengan yang
lain.
Apalagi, suara yang menghendaki agar presiden turun bukan sekali ini.
Hampir dalam berbagai kesempatan selalu ada orang yang “berteriak” untuk
menurunkan presiden. Sebuah langkah yang tidak mungkin dilakukan. Adalah mantan
Ketua DPP Partai Golkar, Akbar Tandjung juga mengatakan, bahwa ada mekanisme
mengangkat dan menurunkan presiden, sehingga tidak bisa dilakukan seenaknya.
Bangsa Indonesia
sekarang mendambakan orang arif, bukan orang yang meledak-ledak. Sikap selalu
menyalahkan orang lain juga mulai tersisih dari nurani bangsa ini. Sebagai
bangsa yang baru mengalami perubahan politik selama era reformasi, tidak tahan
lagi menyaksikan pertikaian antar elit bangsa. Kita jenuh dan capek melihat
perang mulut antara mereka.
Bagi para elit yang selama ini berseberangan dengan SBY-JK, jika dalam
rangka mengasah pikiran, hal itu berarti sehat. tetapi kalau perbedaan pendapat
hanya karena kebencian, dendam, dan ada sesuatu yang ingin diraih, hal itu
tidak baik. Lambat atau cepat akan terbaca.
Masyarakat sekarang tidak bodoh. Mereka mengerti ke mana arah setiap
gerakan yang dilakukan sejumlah tokoh dan apa yang akan diraih oleh mereka.
Bagi rakyat tidak ada nilai pentingnya. Sebab, tarik ulur tersebut bukan solusi
terhadap berbagai persoalan yang sekarang sedang dihadapi.
Justru sebaliknya, di tengah bangsa yang sedang “sakit” karena terus
didera berbagai bencana, musibah, dan ujian lain; kita masih harus bersedih
menyaksikan para elit di negeri ini harus cakar-cakaran. Kita malu kepada
bangsa lain.
Ada baiknya kita belajar kepada bangsa lain yang
lebih dewasa. Terutama dalam hal menyikapi perbedaan pendapat yang tidak saling
menjatuhkan. Adalah wajar kalau Andi Malarangeng kemudian dalam pernyataannya
sedikit satir. Kata dia, silakah siapa saja berupaya untuk memperbaiki bangsa
ini dengan cara menjadi RI-1, tetapi tunggu sampai periode SBY-JK selesai dulu.
Ditegaskan, SBY-JK dipilih oleh 70 juta warga negara Indonesia.
Mandat datang dari mereka sehingga tidak bisa mandat tersebut dicabut oleh
beberapa orang saja yang mengatasnamakan rakyat Indonesia. “Apa betul, para tokoh
itu mendapat dukungan rakyat?” Tanya Andi Malarangeng yang kemudian dijawabnya
sendiri,”Kalau memang benar begitu, maka dalam Pemilu mendatang akan dipilih
oleh rakyat.”
Maka, tidak ada salahnya jika kita belajar untuk bersikap arif agar
tidak terjebak pada sikap saling bermusuhan sesama anak negeri. Para elit politik, para tokoh, hendaknya memberi
pembelajaran politik yang baik, santun, dan bermartabat. Setiap sepak terjang
mereka menjadi tontonan sekaligus kalau baik akan menjadi tuntunan.
Sekarang, baru tahun 2007,
masih ada waktu untuk menata niat ke depan. Bagi yang berhasrat untuk menjadi
pemimpin di negeri ini, tanamlah kebaikan sehingga kelak mendapat simpati dari
warga secara luas. Jangan sampai masyarakat malah mentertawakannya. Iya kan? (*)

No comments:
Post a Comment