Thursday, October 23, 2014

Belajar Menjadi Orang Arif



Kita, ya bangsa Indonesia ini, perlu belajar bersikap arif. Presiden SBY memberi contoh akan hal itu. Sikapnya yang bijak sering diperlihatkan kepada publik. Meski banyak hujatan, demo, malah ada gerakan 15 Januari 2007 yang bertajuk “Cabut Mandat SBY-JK”, presiden tetap tenang, tidak reaktif.
Reaksi yang tidak reaktif disampaikan presiden saat bertemu pengurus Partai Bintang Remormasi (PBR). Presiden mengutip ucapan salah seorang pengurus PBR yang mengatakan, bahwa bupati itu masa jabatannya lima tahun, maka tidak boleh setiap tahun diturunkan. Cuma begitu.
Kalimat tersebut bisa dibaca, bahwa bukan hanya bupati yang masa jabatannya lima tahun dan tidak boleh diturunkan di tengah jalan. Jabatan gubernur dan presiden sama, lima tahun. Maka, jangan sampai dalam perjalanan diturunkan.
Reaksi yang santun seperti ini, memberi keteduhan terhadap bangsa ini. Bisa dibayangkan, seandainya SBY lantas berkoar-koar dengan kalimat yang emosional, maka di kalangan akar rumput akan terjadi aksi saling membenci satu dengan yang lain.
Apalagi, suara yang menghendaki agar presiden turun bukan sekali ini. Hampir dalam berbagai kesempatan selalu ada orang yang “berteriak” untuk menurunkan presiden. Sebuah langkah yang tidak mungkin dilakukan. Adalah mantan Ketua DPP Partai Golkar, Akbar Tandjung juga mengatakan, bahwa ada mekanisme mengangkat dan menurunkan presiden, sehingga tidak bisa dilakukan seenaknya.
Bangsa Indonesia sekarang mendambakan orang arif, bukan orang yang meledak-ledak. Sikap selalu menyalahkan orang lain juga mulai tersisih dari nurani bangsa ini. Sebagai bangsa yang baru mengalami perubahan politik selama era reformasi, tidak tahan lagi menyaksikan pertikaian antar elit bangsa. Kita jenuh dan capek melihat perang mulut antara mereka.
Bagi para elit yang selama ini berseberangan dengan SBY-JK, jika dalam rangka mengasah pikiran, hal itu berarti sehat. tetapi kalau perbedaan pendapat hanya karena kebencian, dendam, dan ada sesuatu yang ingin diraih, hal itu tidak baik. Lambat atau cepat akan terbaca.
Masyarakat sekarang tidak bodoh. Mereka mengerti ke mana arah setiap gerakan yang dilakukan sejumlah tokoh dan apa yang akan diraih oleh mereka. Bagi rakyat tidak ada nilai pentingnya. Sebab, tarik ulur tersebut bukan solusi terhadap berbagai persoalan yang sekarang sedang dihadapi.
Justru sebaliknya, di tengah bangsa yang sedang “sakit” karena terus didera berbagai bencana, musibah, dan ujian lain; kita masih harus bersedih menyaksikan para elit di negeri ini harus cakar-cakaran. Kita malu kepada bangsa lain.
Ada baiknya kita belajar kepada bangsa lain yang lebih dewasa. Terutama dalam hal menyikapi perbedaan pendapat yang tidak saling menjatuhkan. Adalah wajar kalau Andi Malarangeng kemudian dalam pernyataannya sedikit satir. Kata dia, silakah siapa saja berupaya untuk memperbaiki bangsa ini dengan cara menjadi RI-1, tetapi tunggu sampai periode SBY-JK selesai dulu.
Ditegaskan, SBY-JK dipilih oleh 70 juta warga negara Indonesia. Mandat datang dari mereka sehingga tidak bisa mandat tersebut dicabut oleh beberapa orang saja yang mengatasnamakan rakyat Indonesia. “Apa betul, para tokoh itu mendapat dukungan rakyat?” Tanya Andi Malarangeng yang kemudian dijawabnya sendiri,”Kalau memang benar begitu, maka dalam Pemilu mendatang akan dipilih oleh rakyat.”
Maka, tidak ada salahnya jika kita belajar untuk bersikap arif agar tidak terjebak pada sikap saling bermusuhan sesama anak negeri. Para elit politik, para tokoh, hendaknya memberi pembelajaran politik yang baik, santun, dan bermartabat. Setiap sepak terjang mereka menjadi tontonan sekaligus kalau baik akan menjadi tuntunan.
Sekarang, baru tahun  2007, masih ada waktu untuk menata niat ke depan. Bagi yang berhasrat untuk menjadi pemimpin di negeri ini, tanamlah kebaikan sehingga kelak mendapat simpati dari warga secara luas. Jangan sampai masyarakat malah mentertawakannya. Iya kan? (*)

No comments:

Post a Comment