Suatu siang di pinggir sungai dekat laut selatan, ada seorang pencari
ikan di hamparan rawa yang cukup luas dan dalam. Di balik bunga teratai dan
kangkung dia mengais rezeki yang disediakan Allah secara gratis. Ikan hasil
tangkapan dijual untuk nafkah anak dan istrinya di rumah.
Pencari ikan tidak hanya tangguh fisiknya sehingga mampu bekerja
keras. Tetapi mentalnya juga sama kuat. Buktinya, begitu mendengar adzan dhuhur
dari masjid nun jauh di sana,
dia langsung break dan bergegas mandi, membersihkan tubuhnya yang
belepotan lumpur. Lelaki setengah tua itu “mandi” di sungai meski airnya tidak
terlalu bening.
Usai berwudlu dia pun naik ke pematang sawah. Setelah menata hati, dia
bertakbir, rukuk, dan sujud dengan pakaian seadanya. Kaos yang dipakainya
dilepas untuk ikat kepala supaya rambutnya tidak terurai ke dahi. Handuk kecil
yang dibawa dari rumah digelar untuk sajadah. Agar auratnya tertutup, sarung
agak ditarik ke atas. Terik matahari yang menyengat tubuhnya lebih disukai daripada kelak
disengat api neraka karena lalai melaksanakan shalat.
Alunan adzan, tidak hanya menggerakkan jiwa pencari ikan itu. Muadzin
yang mengumandangkan adzan di tempat lain dengan suaranya yang lantang membuat
ribuan, jutaan, ratusan juta, bahkan satu miliar lebih hamba Allah yang muslim
bergerak bersama, menghadap kiblat, berikar, menyerahkan jiwa dan raganya di
hadapan Allah. “Sesungguhnya shalatku, hidup, dan matiku, hanya untuk Allah
yang menguasai alam semesta.”
Di antara hamba Allah yang tergerak hatinya untuk sepenuhnya
memasrahkan jiwanya setelah mendengar alunan adzan adalah seorang anak manusia
yang selama ini hidup dalam gelimang dosa. Dia seorang gembong preman yang tinggal
di Jakarta.
Selama ini hidupnya selalu “hanyut” dalam gerusan nafsu. Tampaknya hidayah
Allah turun ke dalam jiwa orang ini setelah mendengar adzan. Nggak mengerti
mengapa setelah mendengar adzan Ashar, tiba-tiba hati bergetar, ingin shalat.
Tubuh berguncang. “Jiwa saya sadar kalau selama ini bergelimang dosa,” ujarnya
kepada Majalah Hidayah.
Padahal sebelum mendapat hidayah, dia selalu hidup berlimpah harta.
Judi, merampok, minum, zina, dan perbuatan nakal lain selalu mewarnai hidupnya.
Uang hasil merampok dan uang setoran
anak buahnya yang juga preman yang mangkal di beberapa pojok ibu kota selalu habis di meja
judi. Hidupnya selalu gelap, bergelimang dosa, dan larut dalam arus nafsu yang
menyesatkan.
Tetapi, menurut penuturannya, selama itu dirinya tidak pernah merasa
puas, jiwanya terus gelisah. Jiwanya kering. Semakin jauh melakukan yang
diinginkan, jiwanya semakin jauh dari damai. Dia merasakan bahwa hidup yang
demikian ini semu, penuh kebohongan, dan menipu diri sendiri.
Muak dengan hidup yang tak jelas itu, hatinya protes. Dia ingin
mencari kehidupan baru. Saat sedang main judi, hatinya bergetar karena ada
adzan ashar dikumandangkan. Dia bangkit dari tempat judi, ambil air wudlu, dan
shalat di masjid. “Shalat pertama, saat mencium bumi, hati saya
berguncang,” kenangnya.
Ada yang menarik, meski sebagai gembong preman,
sejak anak-anak tidak pernah meninggalkan puasa Senin-Kamis. Ini dilakukan
untuk menambah kekuatan diri. Kini, semua telah berubah. Dia mendirikan
musholla, dan mendirikan Yayasan Ali Zanni. mengasuh 20 anak yatim piatu.
Sejumlah preman di Jakarta berhasil mengikuti jejaknya kembali ke jalan yang
benar.
Begitu dahsyatnya pengaruh adzan. Bisa mengubah jiwa seseorang. Kalau
gembong preman saja bisa “takluk” apalagi orang yang hidupnya wajar-wajar saja.
Kalau tidak “takluk” terhadap adzan berarti jiwanya “luar biasa”. Mungkin,
tingkat keringnya jiwa sudah begitu akut.
KH Zammil Jambek, dalam catatan Prof. DR Hamka, semasa tuanya dikenal
sebagai sosok orang alim di Sumatera. Semasa muda dia “berprofesi” sebagai
perampok besar. Saat dikejar-kejar massa,
dia menyelinap di balik semak-semak, berdiam diri di persembunyiannya sampai
terdengar adzan Subuh. Alunan adzan yang dikumandangkan membuat dia merasa
“iri” terhadap orang lain yang berjalan manuju masjid. Betapa tenangnya jiwa
orang lain yang tengah menuju tempat shalat untuk bertemu Allah sementara dia
dikejar-kejar massa.
Dia pun bertekad akan bertaubat. Niatnya dilaksanakan dan akhirnya menjadi
ulama besar.
***
Tidak jelas, berapa orang yang telah “terhipnotis” kedahsyatan adzan.
Manusia di muka bumi ini, selalu diingatkan muadzin agar rukuk dan sujud
sebagai tanda tunduk kepada Allah.
Adzan yang senantiasa kita dengar, punya sejarah panjang. Konon,
ketika Nabi Muhammad Saw, menerima wahyu berupa perintah shalat, dibicarakanlah
dengan para sahabat bagaimana cara memanggil jamaah agar datang ke masjid untuk
melaksanakan shalat.
Muncullah ide. Setiap masuk waktu shalat, dikibarkan bendera putih.
Dan ide itu pun dilaksanakan. Ketika bendera putih dipancangkan, berarti waktu
shalat tiba. Umat Islam berbondong-bondong ke masjid.
Kendalanya, ketika waktu Magrib, Isya’, dan Subuh. Bendera yang
dikibarkan tidak tampak. Itulah problemnya. Karena belum ada jam, umat Islam
tidak mengetahui kapan masuk waktu shalat.
Di saat kebingungan seperti itu, salah seorang sahabat nabi datang
kepada Umar bin Khottob. Dia Abdurahman bin Auf. Kepada Umar dia bercerita
kalau dirinya semalam bermimpi mendengar ada suara indah. Kalimat yang
didengarkan diucapkan kepada Umar. Apa respon Umar? Umar mengatakan, “Dalam
mimpi, saya juga mendengar kalimat seperti itu,” jawabnya. “Bagaimana kalau
kita sampaikan kepada Rasulullah?” Mereka berdua setuju dan berangkat ke rumah
nabi.
Sesampainya di sana,
mereka menceritakan mimpinya. Nabi memberi respon, “Mimpimu itu adalah bisikan
malaikat Jibril. “Saya juga bermimpi seperti itu,” ujar Nabi. Sejak itu kalimat
adzan seperti yang ada sekarang ditetapkan sebagai “tanda” memanggil orang
melaksanakan shalat
Waktu itu, Nabi lantas menunjuk Bilal bin Rabbah sebagai muadzin
tetap. Uniknya, setiap kali masuk waktu shalat, Bilal naik ke salah satu rumah
yang agak tinggi, untuk mengumandangkan adzan. Suara Bilal yang begitu keras
dan merdu mampu menarik hati umat Islam untuk datang ke masjid.
Bilal telah tiada. Kalimat adzan tetap lestari. Para
muadzin tidak perlu lagi naik ke atas rumah, cukup menggunakan mike, melalui
sond sistem, suara muadzin mampu menembus semua telinga kaum muslim.
Sayangnya banyak orang yang pura-pura tidak mendengar kumandang adzan
itu. Semoga orang yang tidak peduli terhadap panggilan adzan, bisa tergerak
hatinya sehingga dengan enteng mau melangkah menuju masjid seperti yang dialami
sejumlah contoh tadi. (*)

No comments:
Post a Comment