Wednesday, October 22, 2014

Cinta Alloh Sepenuh Jiwa



Suatu siang di pinggir sungai dekat laut selatan, ada seorang pencari ikan di hamparan rawa yang cukup luas dan dalam. Di balik bunga teratai dan kangkung dia mengais rezeki yang disediakan Allah secara gratis. Ikan hasil tangkapan dijual untuk nafkah anak dan istrinya di rumah.
Pencari ikan tidak hanya tangguh fisiknya sehingga mampu bekerja keras. Tetapi mentalnya juga sama kuat. Buktinya, begitu mendengar adzan dhuhur dari masjid nun jauh di sana, dia langsung break dan bergegas mandi, membersihkan tubuhnya yang belepotan lumpur. Lelaki setengah tua itu “mandi” di sungai meski airnya tidak terlalu bening.
Usai berwudlu dia pun naik ke pematang sawah. Setelah menata hati, dia bertakbir, rukuk, dan sujud dengan pakaian seadanya. Kaos yang dipakainya dilepas untuk ikat kepala supaya rambutnya tidak terurai ke dahi. Handuk kecil yang dibawa dari rumah digelar untuk sajadah. Agar auratnya tertutup, sarung agak ditarik ke atas. Terik matahari yang menyengat  tubuhnya lebih disukai daripada kelak disengat api neraka karena lalai melaksanakan shalat.
Alunan adzan, tidak hanya menggerakkan jiwa pencari ikan itu. Muadzin yang mengumandangkan adzan di tempat lain dengan suaranya yang lantang membuat ribuan, jutaan, ratusan juta, bahkan satu miliar lebih hamba Allah yang muslim bergerak bersama, menghadap kiblat, berikar, menyerahkan jiwa dan raganya di hadapan Allah. “Sesungguhnya shalatku, hidup, dan matiku, hanya untuk Allah yang menguasai alam semesta.”
Di antara hamba Allah yang tergerak hatinya untuk sepenuhnya memasrahkan jiwanya setelah mendengar alunan adzan adalah seorang anak manusia yang selama ini hidup dalam gelimang dosa. Dia seorang gembong preman yang tinggal di Jakarta. Selama ini hidupnya selalu “hanyut” dalam gerusan nafsu. Tampaknya hidayah Allah turun ke dalam jiwa orang ini setelah mendengar adzan. Nggak mengerti mengapa setelah mendengar adzan Ashar, tiba-tiba hati bergetar, ingin shalat. Tubuh berguncang. “Jiwa saya sadar kalau selama ini bergelimang dosa,” ujarnya kepada Majalah Hidayah.
Padahal sebelum mendapat hidayah, dia selalu hidup berlimpah harta. Judi, merampok, minum, zina, dan perbuatan nakal lain selalu mewarnai hidupnya. Uang hasil merampok dan uang setoran  anak buahnya yang juga preman yang mangkal di beberapa pojok ibu kota selalu habis di meja judi. Hidupnya selalu gelap, bergelimang dosa, dan larut dalam arus nafsu yang menyesatkan.
Tetapi, menurut penuturannya, selama itu dirinya tidak pernah merasa puas, jiwanya terus gelisah. Jiwanya kering. Semakin jauh melakukan yang diinginkan, jiwanya semakin jauh dari damai. Dia merasakan bahwa hidup yang demikian ini semu, penuh kebohongan, dan menipu diri sendiri.
Muak dengan hidup yang tak jelas itu, hatinya protes. Dia ingin mencari kehidupan baru. Saat sedang main judi, hatinya bergetar karena ada adzan ashar dikumandangkan. Dia bangkit dari tempat judi, ambil air wudlu, dan shalat di masjid. “Shalat pertama, saat mencium bumi, hati  saya  berguncang,” kenangnya.
Ada yang menarik, meski sebagai gembong preman, sejak anak-anak tidak pernah meninggalkan puasa Senin-Kamis. Ini dilakukan untuk menambah kekuatan diri. Kini, semua telah berubah. Dia mendirikan musholla, dan mendirikan Yayasan Ali Zanni. mengasuh 20 anak yatim piatu. Sejumlah preman di Jakarta berhasil mengikuti jejaknya kembali ke jalan yang benar.
Begitu dahsyatnya pengaruh adzan. Bisa mengubah jiwa seseorang. Kalau gembong preman saja bisa “takluk” apalagi orang yang hidupnya wajar-wajar saja. Kalau tidak “takluk” terhadap adzan berarti jiwanya “luar biasa”. Mungkin, tingkat keringnya jiwa sudah begitu akut.
KH Zammil Jambek, dalam catatan Prof. DR Hamka, semasa tuanya dikenal sebagai sosok orang alim di Sumatera. Semasa muda dia “berprofesi” sebagai perampok besar. Saat dikejar-kejar massa, dia menyelinap di balik semak-semak, berdiam diri di persembunyiannya sampai terdengar adzan Subuh. Alunan adzan yang dikumandangkan membuat dia merasa “iri” terhadap orang lain yang berjalan manuju masjid. Betapa tenangnya jiwa orang lain yang tengah menuju tempat shalat untuk bertemu Allah sementara dia dikejar-kejar massa. Dia pun bertekad akan bertaubat. Niatnya dilaksanakan dan akhirnya menjadi ulama besar.

***
Tidak jelas, berapa orang yang telah “terhipnotis” kedahsyatan adzan. Manusia di muka bumi ini, selalu diingatkan muadzin agar rukuk dan sujud sebagai tanda tunduk kepada Allah.
Adzan yang senantiasa kita dengar, punya sejarah panjang. Konon, ketika Nabi Muhammad Saw, menerima wahyu berupa perintah shalat, dibicarakanlah dengan para sahabat bagaimana cara memanggil jamaah agar datang ke masjid untuk melaksanakan shalat.
Muncullah ide. Setiap masuk waktu shalat, dikibarkan bendera putih. Dan ide itu pun dilaksanakan. Ketika bendera putih dipancangkan, berarti waktu shalat tiba. Umat Islam berbondong-bondong ke masjid.
Kendalanya, ketika waktu Magrib, Isya’, dan Subuh. Bendera yang dikibarkan tidak tampak. Itulah problemnya. Karena belum ada jam, umat Islam tidak mengetahui kapan masuk waktu shalat.
Di saat kebingungan seperti itu, salah seorang sahabat nabi datang kepada Umar bin Khottob. Dia Abdurahman bin Auf. Kepada Umar dia bercerita kalau dirinya semalam bermimpi mendengar ada suara indah. Kalimat yang didengarkan diucapkan kepada Umar. Apa respon Umar? Umar mengatakan, “Dalam mimpi, saya juga mendengar kalimat seperti itu,” jawabnya. “Bagaimana kalau kita sampaikan kepada Rasulullah?” Mereka berdua setuju dan berangkat ke rumah nabi.
Sesampainya di sana, mereka menceritakan mimpinya. Nabi memberi respon, “Mimpimu itu adalah bisikan malaikat Jibril. “Saya juga bermimpi seperti itu,” ujar Nabi. Sejak itu kalimat adzan seperti yang ada sekarang ditetapkan sebagai “tanda” memanggil orang melaksanakan shalat
Waktu itu, Nabi lantas menunjuk Bilal bin Rabbah sebagai muadzin tetap. Uniknya, setiap kali masuk waktu shalat, Bilal naik ke salah satu rumah yang agak tinggi, untuk mengumandangkan adzan. Suara Bilal yang begitu keras dan merdu mampu menarik hati umat Islam untuk datang ke masjid.
Bilal telah tiada. Kalimat adzan tetap lestari. Para muadzin tidak perlu lagi naik ke atas rumah, cukup menggunakan mike, melalui sond sistem, suara muadzin mampu menembus semua telinga kaum muslim.
Sayangnya banyak orang yang pura-pura tidak mendengar kumandang adzan itu. Semoga orang yang tidak peduli terhadap panggilan adzan, bisa tergerak hatinya sehingga dengan enteng mau melangkah menuju masjid seperti yang dialami sejumlah contoh tadi. (*)

No comments:

Post a Comment