Pernah melempar batu ke danau? Apa yang tejadi? Batu yang jatuh di
titik kecil, menimbulkan gelombang yang terus bergerak, melebar, meluas tak
terbatas. Jatuhnya batu ke dalam air, merupakan gambaran perilaku “buruk dan
baik” yang kita lakukan. Sekali melakukan keburukan, gelombangnya terus
bergerak, melebar, meluas tak terbatas.
Hati-hati mewarnai hidup. Sebab sekali saja melakukan keburukan,
kejadian itu “bercerita” kepada siapa saja, tanpa batas waktu. Mungkin yang
melakukan sudah lupa atau meninggal, tetapi cerita itu terus berhembus. Inilah
yang dinamai dosa sosial, tidak bisa dihapus, dan taubatnya susah.
Alangkah terpujinya jika seseorang melakukan kebaikan. Gelombangnya
terus bergerak, melebar dan menembus relung-relung jiwa tanpa batas. Orang lain
tidak akan pernah melupakannya. Mereka selalu mengenang, bercerita, dan
menyebarluaskan aroma kebaikan. Meski orang yang menerima kebaikan tidak
menceritakannya kepada siapapun, kebaikannya terus “bercerita” kepada dirinya
sendiri.
Ada sebuah buku menarik, berjudul “Half Full -
Half Empty” karya Parlindungan Marpaung. Isinya banyak menyentuh jiwa. Pada
salah satu tulisannya dikisahkan, ada seorang anak miskin, sehari-hari sebagai
pedagang asongan keluar-masuk kompleks perumahan dinas di Jakarta. Siang itu
dia tengah kelaparan. Tak mungkin membeli nasi karena uangnya tidak cukup.
Tergerak hatinya untuk minta sesuap nasi. Dia pun memberanikan diri
mengetuk pintu salah satu rumah milik pejabat di kawasan itu. Betapa kagetnya
setelah tahu yang membuka seorang ibu muda yang cantik. Dia malu. Niatnya untuk
meminta nasi diurungkannya. Pikirannya berubah, hanya minta air putih saja.
“Maaf Bu, saya minta segelas air putih,” ujarnya.
Ibu muda tadi sadar. Di dalam jiwanya terjadi “dialog”. Anak ini pasti
lapar, maka saya harus beri dia susu satu gelas besar, bisik hatinya. Dan dia
pun bergegas keluar, menemui tamunya sambil menyuguhkan segelas susu besar.
“Ini susu, silakan minum,” ujarnya kalem.
Diperhatikannya dalam-dalam anak miskin yang minum susu itu. Entah
sekedar basa-basi atau sungguhan, anak tadi bertanya, “Berapa saya harus bayar
segelas susu ini, Bu?,” tanyanya. “Tidak usah membayar. Orang tuaku dulu ngajari
aku tidak boleh menerima bayaran jika melakukan kebaikan,” jawabnya. Di hati
anak asongan tadi berucap keras, “Saya sangat simpati pada ibu yang baik hati
dan tidak sombong itu meski istrinya pejabat.”
Tak jelas, berapa puluh tahun kemudian. Suami ibu muda itu meninggal.
Ekonomi rumah tangganya jatuh. Dalam kondisi kesendirian, di usia lanjut dia
jatuh sakit. Dibawa ke sejumlah rumah sakit selalu nihil, tidak kunjung sembuh.
Akhirnya memilih ke salah satu rumah sakit yang di situ ada seorang dokter
bernama Sobur Nurjaman Ali yang dikenal piawai dalam mengobati pasiennya.
Siang itu, ketika anak buahnya memberi informasi ada pasien baru
seorang ibu dari kota “X”, tampaknya dokter Sobur tertarik. Seolah ada
perhatian khusus. Dia mengenakan pakaian “kebesarannya” seragam dinas dokter.
Dia segera melihat pasien yang baru datang.
Tampaknya, dokter tadi bisa dengan mudah mengenali dengan baik pasien
yang baru datang. Dia segera melakukan general chek up. Sang dokter
merawat pasiennya penuh kesungguhan. Dia berjanji, ibu tua itu harus sembuh.
Selang beberapa lama, dengan sentuhan tangan dan ridho-Nya membuat pasien itu
sembuh.
Setelah itu, diperintahkan bagian adiministrasi mengirimkan daftar
tagihan yang harus dibayar pasiennya. Setelah dilihat bendelan kertas totalan
biaya, dokter Sobur yakin wanita tua itu tidak mampu membayarnya. Diambillah
pulpen, lantas ditulislah di pojok kertas tagihan itu dengan kalimat indah
berbunyi, “Telah terbayar lunas dengan segelas susu.”
Pasien wanita yang baru sembuh dari penyakitnya itu memeras otaknya
keras-keras, mengingat kembali kebaikan apa yang pernah dia lakukan pada orang
lain. Dia baru ingat, saat muda pernah memberi segelas besar susu kepada
pedagang asongan yang tengah kehausan yang singgah di rumahnya. Ternyata si
anak miskin itu kini telah menjadi dokter dan merawat dirinya.
Segelas air susu yang diberikan mungkin telah menjadi air kencing dan
telah lama dilupakannya. Tetapi itulah gelombang kebaikan, terus bergerak,
melebar, meluas tanpa batas waktu. Segelas air susu yang diberikan dengan
dorongan hati yang ikhlas, dapat membuahkan hasil yang luar biasa di saat
dirinya sangat membutuhkan. Sang dokter dengan senang hati “membalas” kebaikan
ibu tua itu.
Pengalaman ibu tadi, memberi “pengertian” bahwa kita tidak boleh
berhenti untuk melakukan kebaikan terhadap orang lain sekecil apa pun. Terlebih
terhadap orang yang membutuhkan. Uang 10 ribu rupiah, begitu berharga bagi si
miskin sementara bagi orang kaya uang itu hanya diselipkan di pojok dompet, tak
dihiraukan. Coba berikan kepada orang yang membutuhkan, kebaikan Anda akan terus bercerita sepanjang hayat, dan
kebaikan itu kita petik kelak saat kita berada di hadapan Zat yang Maha
Menghitung.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan istrinya, Aisyah agar jangan anggap
enteng surga walau hanya dengan sebutir biji kurma. Sebutir biji kurma jika
dilakukan dengan tulus, bisa bermakna besar. Apalagi jika dilakukan terus-menerus
dan lebih banyak lagi, kebaikannya akan menjadi luar biasa.
Nabi juga menganjurkan kepada kita agar melakukan kebaikan kepada
orang lain walau hanya berupa senyum. Senyum itu sodaqoh. Dengan senyum orang
lain menjadi terhibur. Dengan senyum persoalan kusut menjadi terurai. Dengan
senyum 50% masalah yang kita hadapi menjadi cair. Itulah antara lain kebaikan
yang selalu menimbulkan riak dan gelombang yang terus bergerak menuju titik
yang tidak terbatas. (*)

No comments:
Post a Comment