Wednesday, October 22, 2014

Melempar Gelombang Kebaikan



Pernah melempar batu ke danau? Apa yang tejadi? Batu yang jatuh di titik kecil, menimbulkan gelombang yang terus bergerak, melebar, meluas tak terbatas. Jatuhnya batu ke dalam air, merupakan gambaran perilaku “buruk dan baik” yang kita lakukan. Sekali melakukan keburukan, gelombangnya terus bergerak, melebar, meluas tak terbatas.
Hati-hati mewarnai hidup. Sebab sekali saja melakukan keburukan, kejadian itu “bercerita” kepada siapa saja, tanpa batas waktu. Mungkin yang melakukan sudah lupa atau meninggal, tetapi cerita itu terus berhembus. Inilah yang dinamai dosa sosial, tidak bisa dihapus, dan taubatnya susah.
Alangkah terpujinya jika seseorang melakukan kebaikan. Gelombangnya terus bergerak, melebar dan menembus relung-relung jiwa tanpa batas. Orang lain tidak akan pernah melupakannya. Mereka selalu mengenang, bercerita, dan menyebarluaskan aroma kebaikan. Meski orang yang menerima kebaikan tidak menceritakannya kepada siapapun, kebaikannya terus “bercerita” kepada dirinya sendiri.
Ada sebuah buku menarik, berjudul “Half Full - Half Empty” karya Parlindungan Marpaung. Isinya banyak menyentuh jiwa. Pada salah satu tulisannya dikisahkan, ada seorang anak miskin, sehari-hari sebagai pedagang asongan keluar-masuk kompleks perumahan dinas di Jakarta. Siang itu dia tengah kelaparan. Tak mungkin membeli nasi karena uangnya tidak cukup.
Tergerak hatinya untuk minta sesuap nasi. Dia pun memberanikan diri mengetuk pintu salah satu rumah milik pejabat di kawasan itu. Betapa kagetnya setelah tahu yang membuka seorang ibu muda yang cantik. Dia malu. Niatnya untuk meminta nasi diurungkannya. Pikirannya berubah, hanya minta air putih saja. “Maaf Bu, saya minta segelas air putih,” ujarnya.
Ibu muda tadi sadar. Di dalam jiwanya terjadi “dialog”. Anak ini pasti lapar, maka saya harus beri dia susu satu gelas besar, bisik hatinya. Dan dia pun bergegas keluar, menemui tamunya sambil menyuguhkan segelas susu besar. “Ini susu, silakan minum,” ujarnya kalem.
Diperhatikannya dalam-dalam anak miskin yang minum susu itu. Entah sekedar basa-basi atau sungguhan, anak tadi bertanya, “Berapa saya harus bayar segelas susu ini, Bu?,” tanyanya. “Tidak usah membayar. Orang tuaku dulu ngajari aku tidak boleh menerima bayaran jika melakukan kebaikan,” jawabnya. Di hati anak asongan tadi berucap keras, “Saya sangat simpati pada ibu yang baik hati dan tidak sombong itu meski istrinya pejabat.”
Tak jelas, berapa puluh tahun kemudian. Suami ibu muda itu meninggal. Ekonomi rumah tangganya jatuh. Dalam kondisi kesendirian, di usia lanjut dia jatuh sakit. Dibawa ke sejumlah rumah sakit selalu nihil, tidak kunjung sembuh. Akhirnya memilih ke salah satu rumah sakit yang di situ ada seorang dokter bernama Sobur Nurjaman Ali yang dikenal piawai dalam mengobati pasiennya.
Siang itu, ketika anak buahnya memberi informasi ada pasien baru seorang ibu dari kota “X”, tampaknya dokter Sobur tertarik. Seolah ada perhatian khusus. Dia mengenakan pakaian “kebesarannya” seragam dinas dokter. Dia segera melihat pasien yang baru datang.
Tampaknya, dokter tadi bisa dengan mudah mengenali dengan baik pasien yang baru datang. Dia segera melakukan general chek up. Sang dokter merawat pasiennya penuh kesungguhan. Dia berjanji, ibu tua itu harus sembuh. Selang beberapa lama, dengan sentuhan tangan dan ridho-Nya membuat pasien itu sembuh.
Setelah itu, diperintahkan bagian adiministrasi mengirimkan daftar tagihan yang harus dibayar pasiennya. Setelah dilihat bendelan kertas totalan biaya, dokter Sobur yakin wanita tua itu tidak mampu membayarnya. Diambillah pulpen, lantas ditulislah di pojok kertas tagihan itu dengan kalimat indah berbunyi, “Telah terbayar lunas dengan segelas susu.”
Pasien wanita yang baru sembuh dari penyakitnya itu memeras otaknya keras-keras, mengingat kembali kebaikan apa yang pernah dia lakukan pada orang lain. Dia baru ingat, saat muda pernah memberi segelas besar susu kepada pedagang asongan yang tengah kehausan yang singgah di rumahnya. Ternyata si anak miskin itu kini telah menjadi dokter dan merawat dirinya.
Segelas air susu yang diberikan mungkin telah menjadi air kencing dan telah lama dilupakannya. Tetapi itulah gelombang kebaikan, terus bergerak, melebar, meluas tanpa batas waktu. Segelas air susu yang diberikan dengan dorongan hati yang ikhlas, dapat membuahkan hasil yang luar biasa di saat dirinya sangat membutuhkan. Sang dokter dengan senang hati “membalas” kebaikan ibu tua itu.
Pengalaman ibu tadi, memberi “pengertian” bahwa kita tidak boleh berhenti untuk melakukan kebaikan terhadap orang lain sekecil apa pun. Terlebih terhadap orang yang membutuhkan. Uang 10 ribu rupiah, begitu berharga bagi si miskin sementara bagi orang kaya uang itu hanya diselipkan di pojok dompet, tak dihiraukan. Coba berikan kepada orang yang membutuhkan, kebaikan Anda  akan terus bercerita sepanjang hayat, dan kebaikan itu kita petik kelak saat kita berada di hadapan Zat yang Maha Menghitung.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan istrinya, Aisyah agar jangan anggap enteng surga walau hanya dengan sebutir biji kurma. Sebutir biji kurma jika dilakukan dengan tulus, bisa bermakna besar. Apalagi jika dilakukan terus-menerus dan lebih banyak lagi, kebaikannya akan menjadi luar biasa.
Nabi juga menganjurkan kepada kita agar melakukan kebaikan kepada orang lain walau hanya berupa senyum. Senyum itu sodaqoh. Dengan senyum orang lain menjadi terhibur. Dengan senyum persoalan kusut menjadi terurai. Dengan senyum 50% masalah yang kita hadapi menjadi cair. Itulah antara lain kebaikan yang selalu menimbulkan riak dan gelombang yang terus bergerak menuju titik yang tidak terbatas. (*)

No comments:

Post a Comment