Thursday, October 23, 2014

Menikmati Usia Tua



Di pojok-pojok gang kecil di Guang Dong, RRC atau sekitar lapangan tengah kota itu --pagi dan sore-- selalu tampak orang tua bermain remi. Mereka bergerombol sesama “geng”-nya, bersantai ria. Bekerja keras, tidak mungkin. Faktor usia tua yang sudah tidak bisa diajak produktif.
Nah, untuk “membunuh” waktu, orang tua (ortu) itu ada yang ngorbol sepanjang waktu, ada juga yang berlama-lama ngucut remi. Dengan cara itu, tidak terasa waktu bergulir. Hari-harinya berlalu tanpa membosankan. Begitulah  kebiasaan manula di negara lain, santai dan tampak menyenangkan. Benarkah? Nggak tahu juga, yang jelas tampaknya begitu.
Penulis yakin, orang tua yang berdirinya sudah tidak tegak itu sifatnya heterogen. Maksudnya, ada dari kalangan wong cilik dan sebagain yang lain pernah menjadi pejabat. Karena merasa terhibur, dari raut mukanya tidak ada kesedihan. Main remi bagian dari kenikmatan. Itu salah satu cara “membunuh” waktu agar tidak jenuh.
Sedikit beda dengan manula di negara kita, terutama mantan pejabat. Post power syndrome sering menghantui. Banyak dijumpai, pensiunan tidak siap menghadapi realitas yang sebenarnya. Ini cerita sejumlah pensiunan. Hari-hari pertama memasuki masa pensiun, ada saja yang lupa bersepatu akan dinas. Di tengah jalan baru sadar kalau dirinya sudah pensiun sehingga ngacir, pulang.
Mengapa tidak siap? Ya… status sosialnya berubah, ekonominya melorot, dan faktor lain. Orang yang semula dihormati, setelah pensiun dicueki. Awalnya dipuja-puja, lantas tidak dihiraukan. Yang lebih tragis ada mantan pejabat yang terpuruk sehingga merasa “jatuh”.
Bicara manula, ada cerita teman yang bertahun-tahun hidup di Jakarta. Menurutnya, banyak mantan pejabat yang kondisinya memprihatinkan. Maksudnya? Antara bleger dengan realitasnya tidak sama. Beda jauh, ibarat langit dengan bumi. Tampak hebat tapi keropos, katanya.
“Lho, mereka kan mantan orang penting dan terpandang?” tanya penulis. Fasilitas, kekayaan, hal lain masih tersedia. Iya, tapi itu dulu semasa jaya. Sekarang sama sekali jauh, beda dengan ketika masih jaya.
Mereka yang sudah tua banyak yang mengenaskan, imbuhnya. Teman saya yang bekerja di bank besar di Jakarrta bercerita soal itu. Maksudnya, banyak mantan pejabat yang terbelit hutang di bank? Bukan hanya itu, ada saja persoalan yang meliliti. Kekuasaan yang dibangun semasa jaya, tidak bisa dipertahankan lagi.
Ada juga karena semasa aktif tidak sempat mengendalikan akhlak anaknya, setelah pensiun baru tahu kalau anak-anaknya ada yang terjerumus pada tindak amoral, terjerat dunia hitam, dan asyik di dunia gelap. Padahal, di usia tua para manula butuh sentuhan jiwa anak-anaknya.
Alangkah pedihnya, jiwa yang sudah capek, tenaga loyo, kawan yang telah banyak menghilang, dan sebagainya, yang datang justru persoalan. Di saat butuh perhatian, layanan, dan suasana rumah yang tenang, dan damai, yang dirasakan seperti yang diceritakan teman tadi. Banyak mantan pejabat yang nelongso karena terhimpit berbagai persoalan.
Semua itu kita jadikan pelajaran berharga. Doa kita semoga kita tidak mengalami nasib seperti itu. Kita doakan mereka yang bersedih karena dililiti berbagai persoalan dapat lebih dekat lagi kepada Tuhan agar hidupnya tenang.
Apalagi yang ditunggu kalau bukan ketenangan jiwa. Nah, untuk menuju ke sana, semasa aktif menjabat sebisa mungkin menghindari tindakan penyalahgunaan uang negara. Agar khusnul khotimah, kita bangun sejak sekarang hidup agamis, lurus, dan benar. Semoga kita bisa.  (*)



No comments:

Post a Comment