Pendaki Semeru kaget. Di atas ketinggian tertentu, dia mendengar deru
motor. Entah suara siapa dan dari mana. Kata sebagian orang, suara itu datang
dari jalan raya, di sekitar Semeru. Suara itu “naik” dan terdengar dari atas.
Jika ini benar, jangan kaget kalau saat mendaki, tiba-tiba mendengar
ada suara orang atau suara anak menjerit, menangis, tertawa, dll. Bisa jadi,
itu suara mereka di bawah yang dihembus angin atau suara yang sedang “naik” ke
atas melalui sekitar puncak sehingga terdengar telinga pendaki.
Suara apa pun dan siapa pun tidak pernah hilang. Semua suara naik ke tempat
yang tak terbatas. Jika ini benar, bukan hal aneh kalau salah seorang astronot
Amerika mengaku mendengar adzan saat mendarat di bulan. Mungkin, itu suara
muadzin yang sedang naik ke atas.
Ada teman saya cukup “aneh”. Ketika masih duduk di
bangku SMA, dia jarang membawa catatan, cukup menaruh batu di pojok kelas.
Setelah pulang, batu tadi diambilnya dan di rumah didengarkannya. Penjelasan
guru terekam di batu dan bisa didengar dengan baik. Belief it or not, itulah
yang terjadi.
Kalau itu benar, hati-hati mengeluarkan suara. Setiap kata yang keluar
dari lisan seseorang bisa didengar oleh “siapa” saja asal bisa melacaknya. Jika
mengikuti paham ini, maka begitu riuhnya aneka suara di “atas” sana. Dan, inilah remakan
abadi di lauhil mahfudz. Gemuruh suara itu mencerminkan pemiliknya. Jika ahli
ibadah, yang terdengar ucapan yang baik-baik.
Tetapi, mereka yang suka mesuh, kata yang terdengar cacian,
umpatan, fitnah, adu domba, dll. Orang yang suka marah, kalimat yang akan
diperdengarkan kembali kelak kalimat menghujat, memaki, atau kalimat yang tak
senonoh. Maka, hati-hatilah mengeluarkan suara, kelak bakal malu sendiri.
Agama benar-benar meyakinkan kita, bahwa kelak setiap suara akan
diperdengarkan kembali. Rekaman itu akan diputar kembali. Tak ada kata yang
luput dari rekaman abadi itu. Alam menjadi saksi. Maka, dalam surat Yasin dijelaskan, bahwa kelak manusia
akan ditanya, yang menjawab bukan lisannya karena sedang dikunci. Yang
bercerita adalah tangan, kaki, dan sekujur tubuhnya. Sedang suara sudah ada, tinggal
mendengarkan suara yang tidak pernah hilang itu.
Jika demikian yang terjadi, masihkah kita akan main-main dengan kata
dan kalimat yang keluar dari lisan kita? Terutama bagi para politisi, calon
bupati, calon gubernur, calon presiden, dll. Setiap janji yang tidak
direalisasi, kelak akan diperdengarkan kembali. Kita dipermalukan dengan kata
dan kalimat yang pernah kita ucapkan sendiri.
Yang terjadi selama ini, banyak politisi, pejabat, dan tokoh
masyarakat yang kurang hati-hati dalam mengumbar kata dan kalimat. Ucapannya
seperti orang meludah, tanpa beban. Padahal tidak demikian. Setiap kata dan
kalimat ada “bekasnya” sehingga tidak akan pernah terlupakan. Diam itu emas,
orang yang banyak diam akan selamat dari jebakan kesalahan ucap.
Setiap bangsa memiliki ciri khasnya. Orang Jepang dikenal karena
kebersihannya. Warung orang Jepang tempat masaknya di depan sehingga bisa
dilihat pemiliknya jorok apa tidak. Orang Arab dikenal rajin berdagang untuk
mendapatkan fulus. Orang Inggris dikenal etos kerjanya yang tinggi. Orang
Belanda terkenal karena ketekunannya. Orang Jerman dikenal keberanian (jiwa
kepahlawanannya). Dan orang Indonesia
dikenal karena lemah lembutnya.
Orang yang lemah lembut, setidaknya tampak dari cara bertutur kata.
Selain sopan dan santun, kata yang dipilih selalu yang terbaik. Tetapi, seiring
dengan reformasi yang baru saja dilalui, bangsa Indonesia tampaknya mulai “berani”
bicara apa adanya sehingga sering kasar dan kelaur dari lazimnya. Bangsa Indonesia
seolah lupa pada jati dirinya yang lemah lembut.
Saat Susilo Sudarman menjadi Menteri Pariwisata, ditekankan agar
bangsa Indonesia
selalu mengembangkan tujuh sikap agar wisatawan tertarik dan betah berada di
negeri ini. Salah satunya, mengembangkan senyum dan berbicara santun. Ini
penanaman yang cukup berhasil waktu itu, tetapi bubrah kembali pada periode
berikutnya karena tidak “dipelihara” secara baik.
Kini, kian terasa. Sikap lemah lembut, sopan dan santunnya mulai
sedikit digerogoti keadaan. Peran elit politik, pemimpin, dan tokoh masyarakat
sangat besar dalam ikut menciptakan suasana yang baik dan kondusif.
Eloknya negeri ini tergantung pada sikap dan cara bicara warga dan
pemimpinnya. Kita perlu koreksi kembali perjalanan reformasi yang sedikit ngudari
kebiasan berbicara santun agar tidak hilang dari anak negeri ini. Jika hal
ini kita biarkan terus menerus, maka gemuruh suara di angkasa akan carut marut,
sebab yang terdengar tidak lebih dari cacian, hujatan, fitnah, adu domba, dan
kalimat sarkas lainnya. Bukan kalimat sopan, santun, teduh, dan menyejukkan
jiwa. Kapan? (*)

No comments:
Post a Comment