“Saya ingin menjadi diri saya sendiri,” ujar seseorang. Kalimat ini
-–mungkin-- terjemahan dari, “I want to be my self.” Sebuah kalimat
“ideal” yang seharusnya kita wujudkan. “Jangan sampai kita jadi bayang-bayang
orang lain,” tulis Prof. Hamka dalam
bukunya, “Pribadi”.
Salah seorang yang boleh dibilang cukup berpeluang menjadi calon
bupati kepada penulis mengaku dirinya enggan masuk percaturan Pilkada.
Alasanya, jika mengikuti pola yang ada, dirinya pasti larut dalam praktik main
uang (money politics). “Kalau itu saya lakukan, bagaimana kelak di
hadapan Allah?” tanyanya. Dia sadar Allah bakal melaknat orang yang
bermain-main dengan money politics. Ini ditegaskan Nabi SAW, “Dilaknat
Allah orang yang menyuap dan yang disuap.”
Hebat. Dalam situasi seperti ini, masih ada orang yang berpikir
jernih. Lazimnya, para “jago” tidak lagi berpikir begitu. Main uang, disetir
orang, dan tepatnya menjadi bayangan orang lain dianggap biasa. Fenomena ini
terjadi di mana-mana.
Sang tokoh takut dirinya larut dengan permainan yang tidak sehat.
“Kalau ternyata saya sama saja dengan mereka, di mana idealisme ditempatkan?”
ujarnya.
Dia sanggup berlaga dengan kandidat lain. Kalah dan menang urusan
nanti. Tetapi, kalau di awal mainnya sudah bersih, apakah tembok kemungkaran
dapat dibersihkan dari kehidupan ini?
Kegalauan itu mendorong kawula muda mendeclair “obsesi” untuk
memperjuangkan munculnya calon bupati/gubernur dari jalur independen. Mereka
mengira jika cara itu berhasil, akan mampu memainkan catur di atas bidak
politik secara transparan, jujur, langsung, umum, bebas, rahasia, bersih, dan
ikhlas.
Apalagi kalau tampilnya seseorang disokong pemilik modal dengan
harapan kalau menang harus mengembalikan. Hal ini hambatan psikologis yang
menyebabkan seseorang tidak leluasa. Hutang budi menjadikan seseorang “mati”
kutu. Hutang jasa, menjerat seseorang menjadi tidak kuasa berbuat sesuatu.
Ini berlaku bagi siapa saja. Baik cakades, cabup dan cawabup, cagub
dan cawagub, capres dan cawapres. Jika menjadi “bayangan” orang lain, akan
menyebabkan tidak kuasa berdiri tegak. Dia bergerak kalau sumber bayangan
bergerak. Dia bergerak, berjalan, dan lari kalau sumber bayangkan melakukan hal
itu.
Pemimpin ideal, pemimpin yang memiliki prinsip hidup yang teguh,
kokoh, dan tidak mudah diombang-ambingkan keadaan. Sesekali berani mengambil
kebijakan tidak populer asal positif.
Pemimpin hendaknya memiliki kepribadian yang menarik. Kepribadian
disebut menarik karena beberapa hal. Antara lain, cara bicaranya runtut,
rasional, dan mudah dipahami. Bicaranya tidak berbelit-belit, kaya diksi kata,
pandai merangkai kata menjadi kalimat indah dan menarik.
Dia bukan hanya pandai, tetapi juga cerdik dan lihai. Orang pandai
belum tentu cerdik. Bisa jadi, kepandaiannya hanya untuk dirinya, bukan untuk
orang lain. Orang cerdik, biasanya kelihatan dari cara merespon sesuatu: cepat,
cekatan, dan juga tepat. Dia tidak berkerut kening dan berlama-lama menyusun
jawaban dan ternyata yang dikeluarkan dari benaknya tak lebih dari kalimat
sepele.
Coba libat Bung Karno dalam merespon keadaan bangsanya. Dia dikenal
cerdas, cerdik dan lihai. Pribadinya menarik, orasinya bagus, bicaranya lancar,
bahasanya beragam, dan daya persuasifnya tinggi. Singa podium satu ini sulit
dicari tandingannya di dunia. Dia adalah tokoh yang melegenda.
Agus Salim, Menteri Luar Negeri Indonesia semasa Orla, begitu lihai.
Jika diserang lawan, dapat menjawabnya dengan tenang dan tepat. “Mengapa orang
Indonesia makan tanpa pakai sendok?,” Tanya orang Belanda. Dia dengan tangkas
menjawab, “Sendok masuk beberapa mulut orang lain, sedang tangan hanya masuk
mulutnya sendiri.”
“Mengapa Anda selalu merokok?” Tanya orang lain yang risih dengan sedal-sedulnya
Mr Agus Salim. Dia jawab, “Orang Eropa menjajah negara kami hanya untuk ambil
bahan rokok ini,” jawabnya.
Dia pernah dijatuhkan orang Barat di forum rapat, ketika Agus Salim
melangkah menuju mimbar. Banyak orang ngembek untuk nyindir Agus Salim
karena jenggotnya yang putih mirip jenggot kambing. Begitu naik mimbar, dia
berucap, “Tuan pimpinan, saya tidak akan memulai pidato, sebelum kambing-kambing
yang ngembek keluar dari ruangan ini.”
Banyak orang pintar, tetapi tidak punya pendirian. Banyak orang cerdas
tetapi tidak punya prinsip hidup. Banyak orang intelektualnya tinggi, tetapi
hidupnya hanya menjadi tukang kutip pembicaraan orang. Banyak orang
berpendidikan tinggi, tetapi hidupnya hanya menjadi bayangan orang lain.
Dalam pandangan agama, ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa setiap
orang adalah pemimpin. Lelaki pemimpin bagi istrinya. Istri pemimpin bagi
anaknya di rumah. Pembantu juga pemimpin dalam menjaga rumah. Dan semua
pemimpin tadi akan dimintai pertanggungjawaban.
Maka, empat hal yang harus selalu dipegang pemimpin. Yaitu, siddiq
(jujur/benar). Untuk bisa jujur, bukan
pekerjaan mudah. Sebab, hal itu menyangkut cerminan hati seseorang. Orang bisa
jujur kalau agamanya mantap. Al-Quran
menegaskan, ”Sesungguhnya shalat bisa mencegah perbutan keji dan
munkar.” Kalau ada orang orang shalat, tetapi masih suka korup dan berbuat
munkar, berarti shalatnya belum membekas dalam kehidupan orang itu.
Syarat kedua, amanah, dapat dipercaya. Rasul Muhammad telah
memberi contoh tentang hal ini. Beliau begitu amanah. Sekarang mencari pemimpin
yang amanah itu susah. Apa yang dikatakan sering bertentangan dengan yang
dilakukan. Berkata A ternyata melakukan B.
Syarat ketiga, tabligh (penyampai). Dia tidak menyimpan
kebenaran, informasi, dan peluang yang baik kepada publik. Kalau ada lowongan
kerja, bukan hanya diperuntukkan bagi kolega dekatnya, orang lain juga diberi
hak yang sama. Setiap informasi apa pun yang dibutuhkan orang lain disampaikan
kepada mereka. Semua warga berhak mendapatkan kesempatan yang sama sehingga
tidak boleh pilih kasih. Sebaliknya, dalam menegakkan keadilan tidak boleh
tebang pilih.
Dan keempat, pemimpin harus fathonah. Yaitu, cerdas. Tidak
telmi (telat mikir), apalagi tulalit. Sindiran Bolot yang selalu tidak
mendengar jika diajak bicara harus dibuang jauh-jauh pada diri pemimpin. Jika
demikian sosok pemimpin, maka dia akan bisa bekerja dengan baik, tegas
menghadapi goyangan pihak lain, dan tidak mudah berubah arah. Masih adakah
pemimpin yang tidak menjadi bayangan orang lain? (*)
